Titik Buta
“Saat itu aku sungguh tertekan, rasa sayang dan marah keluar dari lubang yang sama, berdesak-desakan. Kulampiaskan melalui tangisan, tanpa suara dan air mata. Kau tahu, dadaku sungguh sakit kala itu, berhari-hari, berbulan-bulan. Sakit di dada ternyata bukan hanya karena menahan tangis, melainkan ada segumpal penyakit yang bercokol di sana.” Aku tersendat, menarik napas dalam. Sambil kupejamkan mata, kusebutkan sebuah nama penyakit yang kini bisa kuucapkan dengan tenang. “Tumor payudara.” Ia hanya diam, khidmat mendengar tuturku. Ku hembuskan napas, ku buka mata, menerawang jauh, membiarkan semua masa lalu itu keluar masuk berseliweran di dalam ingatanku. “Kau sudah melaluinya sekarang, kau sudah jauh lebih baik.” Ia membuka suara. Tanpa menoleh padanya ku balas ia dengan senyum. Kepalaku masih mendongak ke atas, langit yang sedang ku tatap sangat indah. “Syukur aku mengetahui dengan cepat, tumor payudara itu masih tahap awal. Jika sedikit lebih lama mungkin akan di...