Bertemu di dalam Perjalanan
Dia terus menerus tertawa, terpingkal-pingkal hingga
mengeluarkan air mata. Bolak balik dia mengusap titik air itu dengan jemarinya.
Sementara aku merespon seadanya sambil bertanya-tanya di mana letak lucunya.
Dia selalu begitu, ada saja cerita yang menurutnya lucu dan
perlu diceritakan kepadaku. Kemudian disetiap ujung ceritanya dia bertanya pertanyaan
yang sama.
“Lucukan?” Ucapnya masih dengan wajah yang penuh seri.
“Iya lucu.” Aku menjawab, jawaban yang sama setiap kali dia
bertanya.
Sudah bertahun-tahun bersamanya, mengapa setiap hal yang
menurutnya lucu, tidak lucu bagiku. Sudah bertahun-tahun bersamanya, tiap dia
merasakan senang, aku tak bisa ikut senang. Sudah bertahun-tahun bersamanya, tiap
dia merasa telah membuatku bahagia, aku tidak merasa bahagia. Lalu mengapa aku
bisa bersamanya selama ini.
Waktu berjalan, sudah cukup aku menahan diri, kuputuskan
untuk mengakhiri kisah dengannya. Tiada lagi cerita yang bisa ditertawakan
bersama, gelaknya selalu tanpaku. Lucu sendirian.
Kulanjutkan perjalanan, hidup tidak akan berhenti dengan
begitu mudah. Aku harus bekerja keras untuk bisa tetap bertahan. Kuhayati makna
kesendirian, kunikmati masa-masa kesepian.
---
---
Suatu hari, dalam perjalanan di lorong panjang yang gelap kulihat
dia, duduk tertunduk dan tergugu. Kuyakin dia sedang menangis. Kudekati dia, namun
semakin dekat hatiku menjadi gelisah. Sekitar tiga langkah sebelum sampai
padanya aku terhenti, dengan hati yang bergemuruh kucoba bercakap padanya.
“Mau berjalan bersama?” Tawarku hati-hati.
Dia seperti tersadar dari kesedihan panjang yang
membelenggunya. Matanya sembab, kulitnya pucat, kuku tangannya geripis, mungkin
dia gigiti sembari menangis.
Perlahan dia berdiri, merapikan letak kemejanya, menarik ke
atas pinggang celana yang dodor, mengusap air mata yang tersisa.
Kemudian kami mulai jalan bersisian.
“Lorong panjang dan gelap ini seperti tidak berakhir, tapi
jika kita melaluinya bersama teman dan sambil bicara, pasti tidak akan terasa
lama.” Kumulai membuka obrolan.
Lalu keberuntungan berpihak, kami menghabiskan waktu dengan
banyak cerita, melompat-lompat dari tema satu ke tema lainnya. Kami menemukan
kenyamanan. Lorong panjang dan gelap tak terasa telah berakhir, tetapi kami
masih bersama.
Bertahun kemudian kami masih bersama, menukar banyak kisah,
bernarasi kesana kemari. Hingga akhirnya ada sesuatu yang aku sadari, aku tak
pernah merasakan kesedihannya. Meskipun sebagian besar kisah yang dia bagi
adalah pilu perjalanan hidupnya, aku tak pernah bisa berempati padanya, yang dapat
kuberikan hanyalah dua telinga untuk mendengar tanpa hati untuk merasakan. Bahkan
jika air matanya tumpah berderai-derai, tak pernah aku tertular untuk menangis
walau setetes air mata.
Meskipun aku senang menemaninya dan selalu mendengarkan seluruh
kisahnya, aku memilih mundur. Letak nadi kesedihan yang tak kutemukan selama bersamanya membuatku menyerah. Kukatakan padanya bahwa dia harus terus
melaju, lalu dia bersimbah air mata. Sedih sendirian.
---
Waktu kembali bergulir dan aku meneruskan perjalanan, hidup
tidak mudah untuk dihentikan. Namun kali ini aku memilih jeda, di bawah pohon
tua yang rindang aku duduk selonjor kaki. Angin semilir, daun kering
berguguran, bau rumput menyeruak, hidup tak pernah sesepi itu kicau burung yang
cerewet pasti menemani.
Aku tersenyum atas pikiranku sendiri. Bertahun-tahun kuhabiskan
waktu membersamai seseorang, kini aku perlu membersamai diriku sendiri.
Tetapi senja yang menguning tak sependapat, di tengah asiknya
mengelus-elus rambutku sambil menatap matahari yang tinggal separuh, tiba-tiba seorang
yang bersimbah keringat membungkuk terengah-engah telah berada di sebelahku. Aku
terkejut atas sosok yang entah dari mana munculnya.
Dia habis berlari rupanya, entah demi mengejar atau menghindari
apa. Dia merebahkan diri dan menghabiskan seluruh kelelahannya. Hingga malam
telah mengunci diri, kami tak berbicara satu katapun.
Hari berganti, dia mulai bersuara dan mengajakku berbicara. Kini
di bawah pohon tua yang rindang hari makin terasa ceria. Selama duduk bersama
kami telah bertukar banyak cerita, amarah, hampa, gelak tawa, serta duka lara. Sekian
lama bersamanya akupun menyadari, bahwa dengannya perasaan ini menjadi indah,
aku merasakan alasan dia tertawa dan aku juga merasakan alasan dia menangis. Tahun
demi tahun berlalu dan perasaanku tetap seperti itu. Untuk pertama kalinya aku tidak
ingin kehilangan seorang teman bicara.
Tetapi senja yang menguning tak sependapat, di tengah
asiknya menikmati matahari yang tinggal separuh, dia sampaikan bahwa dia hendak
berlari kembali. Aku terkejut atas kabar yang tiba-tiba itu. Namun, tak lama dia lanjutkan
kata-katanya.
“Jika kamu ada waktu, kita bisa berlari bersama.”
Komentar
Posting Komentar