Karena Hartini pergi

Aku suka melihat orang-orang yang makan di warteg. Penuh percaya diri dan keyinan bahwa makanan itu enak, mereka lapar, dan semua yang disajikan habis. Makan dengan tangan, kening berkeringat, mulut mengerjap kepedasan.
Beda sekali dengan iklim di restoran mahal, makan ogah-ogahan, bisa dipastikan harga makanan selangit dan kemungkinan tidak akan dihabiskan. Makan dengan berbagai perlengkapan. Cemong sedikit di tepi mulut langsung di lap. Kaki dan badan tertata rapi.
Tapi hari ini aku melihat sedikit perbedaan. Seseorang yang makan di warteg dengan lesu. Ogah-ogahan, seperti ada pikiran tak sanggup bayar.
"Anda terlilit hutang, sedang dikejar debt collector?" Aku membuka percakapan.
"Bukan, saya sedang memikirkan Hartini." Jawabnya lesu. "Lagi pula saya tidak pernah memiliki hutang kepada siapapun." kali ini nadanya sedikit ketus.
"Saya heran mengapa Hartini pergi begitu saja, padahal kemarin kami mengobrol seperti biasa." Terangnya kepadaku.
"Mungkin Hartini sedang ada urusan mendadak, sekarang makan dulu makanannya, setelah ini kita cari tahu kemana Hartini pergi." Kataku sambil tetap memakan makananku.
Seseorang yang sedang merajuk itu adalah Tunggal. Dwipa Tunggal. Aku dan Tunggal terikat dari kami kecil. Meskipun sudah ku rasa usahaku keras, tapi mungkin usahaku belum optimal karena kami tak kunjung terpisah, lengket seperti permen karet di bawah meja sekolah.
Aku kecil adalah yatim piatu, karena kecelakaan ketika itu aku kehilangan mereka, keduanya sekaligus. Ayah Tunggal adalah sahabat kental ayahku. Ia secepat kilat mengambilku dan memeliharaku sebagai anak.
Kami seumuran, dibesarkan bersama disatu atap yang sama. Lain denganku yang anak tunggal, Tunggal memiliki satu kakak perempuan bernama Dwipa Sara. Jarak usia kami dengan kak Sara empat  tahun. Tapi kak Sara memiliki kematangan jiwa yang lebih cepat dari pada usianya. Dia mengemong dan mengasuh kami meski ia sebetulnya juga masih butuh diemong dan diasuh.
Dengan adanya aku, perekonomian keluarga Tunggal makin perlu diusahakan. Ayah Tunggal yang kupanggil Bapak adalah seorang guru di sekolah swasta dan kini merangkap menjadi tukang ojek setelah selesai mengajar. Ibunya Tunggal yang kupanggil Tante adalah seorang kasir disebuah rumah sakit swasta di daerah kami. Meskipun sudah diajarkan berulang kali, aku tetap tidak bisa mengikuti panggilan yang sama kepada mereka seperti Tunggal dan kak Sara. Tapi kepada kak Sara yang telah mengemongku, kupanggil ia ibu, herannya kak Sara manut saja padahal lama kelamaan badan kami sama besar.
Kami semua jika sudah saling memanggil seperti memiliki hubungan yang aneh.
Malam yang suram dan menyesakkan  menghampiri kami. Kali kedua untukku mengalami ini. Sudah garisnya, setiap insan pasti punya hari yang manis beserta hari yang pahit. Suram, menyesakkan, dan rasanya sangat pahit, kembali kehilangan orang tua sekaligus. Bapak dan Tante jadi korban begal, motor mereka diambil orang. Ketika itu Bapak dan Tante sedang dalam perjalanan menuju pulang, bapak habis menjemput tante yang hari itu kerja shift malam.
Hari kian berganti, waktu terus mengabiskan diri. Kak Sara yang masih tahun pertama sekolah menengah kejuruan dan kami yang masih sekolah dasar berjuang bersama untuk hidup dan mimpi yang telah tertanam kuat. Kak Sara yang ingin menjadi juragan toko roti, Tunggal yang ingin menjadi arsitek berduet dengan aku yang ingin menjadi designer interior. Maka kami tidak ingin putus sekolah. Berbekal pengetahuan kak Sara yang sedikit dan modal yang di dapatkan dari tunjangan kematian orang tua, dengan nekat kami bertiga berusaha membuat dan berjualan roti. Sekolah memberikan hak istimewa sehingga kami bisa berjualan di sekolah. Pada awalnya teman dan guru membeli roti kami karena kasihan, tapi lama kelamaan aku yakin mereka membeli karena rasanya yang enak.
Suatu ketika kami mendapat tugas membuat rancangan suatu gedung, dengan iseng kami tunjukan hasil karya kami pada orang-orang di warteg tempat kami biasa makan. Oia, karena kuliah kami berpisah dengan kak Sara, kami pulang hanya sesekali, Kak Sara tetap meneruskan berjualan roti dan sudah memiliki kedai yang kecil. Ia membiayai kehidupan kami dan kami berupaya keras mendapatkan dan mempertahankan beasiswa agar bisa selesai kuliah.
Setelah bercerita tentang karya kami masing-masing, seorang mas-mas yang juga makan di warteg dan mendengarkan kami, tertarik untuk minta tolong mendesain kedai kopinya. Tanpa menolak kami langsung mengangguk cepat. Setelah berkenalan  kami tau nama mas-mas itu adalah mas Sena. Ia bilang tak masalah jika nanti banyak kekurangan atau apapun, ia akan membantu kami. Ternyata mas Sena pernah kuliah arsitektur, namun seperti salah jurusan ia malah sibuk mempelajari kopi dan ingin mempunyai kedai kopi. Kami belajar dan praktek bersama dengan mas Sena. Ketika kedai kopi itu buka untuk pertama kali, kami meminta kak Sara untuk datang, kedatangan kak Sara menghasilkan cerita yang panjang. Hati kak Sara dan mas Sena terpaut, mereka berlanjut dan menikah. Memiliki kedai kopi yang menyajikan roti. Hal yang awalnya salah tenyata tidak sepenuhnya salah. Merasa salah jurusan kuliah membawa pada awal kehidupan baru yang mungkin bisa lebih disukai. Karena hidup hanya saat ini, maka bahagia juga harus saat ini.
Menyisakan aku dan Tunggal yang masih pelik dengan perginya Hartini tanpa pesan dan kesan. Hartini adalah salah satu karyawan di tempat penitipan anak yang ada di dekat kosan kami. Suatu hari, ketika kami lewat menuju kampus Tunggal melihat Hartini yang sedang menggendong bayi, ia langsung terpesona. Lalu dicari tau dan diusut lebih lanjut. Hingga tercipta hubungan Tunggal dan Hartini. Dua bulan berjalan dalam romantika penuh bualan, saat bunga dihati sedang berputik ingin bermekaran, Hartini pergi.
Dua bulan Tunggal merana, sebab musabab Hartini pergi ialah pernikahan yang dijodohkan di kampung oleh orang tua. Ku temui Tunggal di kamarnya.
"Saya kira sudah waktunya Anda kembali ke diri Anda, jangan biarkan patah hati merusak impian Anda yang bahkan belum Anda raih sepenuhnya. Untuk apa bertahan pada hal yang nanti akan membuat Anda menyesal, tinggalkan di sini patah hati itu. Urus lagi keperluan yang lain." Kataku padanya yang masih terbungkus selimut dari tadi pagi hingga siang ini.
Dua bulan bukan lagi waktu yang cukup untuk tertinggal dari pelajaran di kampus. Saat kembali kita akan merasa sangat dungu karena banyak yang terlewatkan. Susah payah harus dikejar.
Setelah ku letakkan bungkus makanan yang ku beli di mejanya, aku pergi untuk kembali ke kamarku.
Tak lama ku dengar pintu kamarku di ketuk dan Tunggal masuk, ia letakkan sebuah permen di mejaku dan bilang terima kasih. Lalu pergi dan pintu kamar tertutup hingga pagi.
Esoknya, hari kembali bergeliat karena Tunggal kembali ke sisiku. Bersama kembali mengejar mimpi yang kami rasa cocok untuk kami tekuni di masa yang akan datang.
Hidup akan selalu seperti itu, kita akan tersandung, terjatuh, dan bangkit, kita harus melewatinya secepat yang kita bisa. Waktu tidak akan pernah menunggu.
"Anda tidak menyukai saya?" Tiba-tiba Tunggal buka suara ketika kami sedang makan siang di warteg.
"Apa saya perlu menyukai Anda?" Kataku singkat sambil tetap makan.
"Tidak juga tak mengapa." Jawabnya datar.
Kami melanjutkan makan siang kami, kami melanjutkan hidup kami.
Aku dan Tunggal terluka dan berjuang bersama menyembuhkan luka, aku dan Tunggal bermimpi dan berjuang bersama meraih mimpi. Aku dan Tunggal terikat dengan jalan seperti itu. Dan karena Hartini pergi, aku jadi menceritakan ini kepada kalian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 7: Mengobrol

Pekan 8: Game Online, Game Offline

Pekan 5: Menikmati Moment