Tunggal

Pagi itu, Tunggal tetap terlelap meski dering alarm meraung-raung di samping telinganya. Alarm yang dipasang pun teguh dengan tugasnya, tetap meraung, tetap meronta, tetap menjerit-jerit di samping telinga si empunya. Hingga terdengar suara gaduh dari depan pintu kamar. Rupanya penghuni kamar kost sebelah yang terganggu dengan bunyi alarm Tunggal. Berteriak penuh kekesalan meminta alarm dimatikan, karena yang terbangun dari tidur adalah dia, bukan Tunggal si-penyetel alarm.

Di titik di mana kemarahan penghuni kamar sebelah sedang memuncak, Tunggal terbangun. Linglung mengapa pagi ini begitu gaduh?, padahal ia ingin sekali terbangun dalam ketenangan. Lalu ia menyadari bahwa dering alarmnya adalah si pembuat onar. Ia matikan dan suara gaduh pun lenyap. Tunggal kembali ingin masuk ke dalam peraduan, melanjutkan mimpi yang menggantung. Namun gagal, seekor cicak jatuh tepat di atas keningnya. Tunggal bereaksi, terkejut dan terjungkal dari dipan tempat tidur sedangkan cicak telah melesat jauh entah kemana. Ia sangat jijik dengan hewan lembut dan tak memiliki bulu.

Kesadarannya penuh, maka tidak ada pilihan lain kecuali memulai hari. Diawali dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, ketiaknya, perutnya, dan semua bagian tubuhnya yang sesungguhnya tak butuh digaruk. Dilanjutkan dengan mengambil gayung berisikan peralatan mandi dan melewati jemuran handuk. Ia jarang sekali menyeka tubuh basahnya, langsung memakai baju sekalipun bajunya ikut menjadi basah, air dari rambutnya pun akan menetes-netes di lantai sekeluar ia dari kamar mandi.

Setelah mengenakan pakaian, Tunggal akan duduk di depan jendela kamar. Kamar yang terletak di lantai dua itu menyuguhi pemandangan kehidupan warga sekitar, serta gedung-gedung lain yang mampu tertangkap mata. Jika duduk di waktu yang tepat, maka dapat melihat istri kedua Pak RT dengan daster seadanya sedang menjemur bayinya yang masih biru. Istri kedua Pak RT nan cantik dengan bentuk tubuh molek sekalipun habis melahirkan. Jika kurang beruntung, hanya akan melihat ibu rumah tangga berdaster robek, tali kutang menyembul di bahu, dan rambut yang kusut masai sedang mengomeli anaknya karena hampir terlambat ke sekolah, atau pasangan baru menikah mengantar mesra sang suami bekerja di depan pintu rumah yang semoga saja bertahan selamanya.

Kegiatan duduk di depan jendela ini ditemani oleh segelas susu kedelai yang dingin. Tunggal terlalu malas untuk menghangatkan meski ia meminumnya di pagi hari. Sebelumnya Tunggal adalah peminum kopi, hingga suatu ketika ia mendapati tubuhnya tak lagi bereaksi dengan jenis kopi apapun yang diminum, tidak membuat semangat dan tidak membuatnya terjaga, hambar. Akhirnya ia membanting stir dengan menyeruput susu kedelai dingin yang distok di kulkas setiap paginya.

Sambil menikmati suguhan, ia membuka perangkat khusus seukuran genggaman tangan yang mana di dalam perangkat tersebut tersimpan segala informasi tentang data klien, tentang apa yang harus diselesaikan, dan tentang lokasi bertugas. Kali ini ia harus pergi ke sebuah panti sosial, kliennya seorang wanita berusia 41 tahun bernama Agni. Setelah selesai dengan susu kedelainya, Tunggal bergegas menuju lokasi yang telah ditentukan oleh perangkat tersebut.  

Tunggal adalah seorang kurir pengantar surat, ia membantu seseorang yang ingin menyampaikan pesan kepada dirinya sendiri di masa lalu. Kebanyakan surat tersebut berupa peringatan, tak jarang berupa rasa syukur, dan yang lainnya berupa penyesalan. Tunggal harus selalu sadar untuk tidak terlarut dalam cerita atau terburu-buru hingga surat tidak disampaikan tepat pada waktunya.

Entah dari mana ia dapatkan pekerjaan ini, tak tahu pula asal mula segala perangkat khusus itu berasal. Di suatu pagi yang masih kelam ia terjaga akibat hawa dingin menusuk tulang, saat kantuk masih membayang ia paksakan diri membuka mata karena di sebelahnya terdapat berbagai kardus dan kantong belanja. Dengan kesadaran yang masih setengah ia buka satu per satu dan terdengar suara dari satu alat yang meminta dituruti perintahnya. Dengan pikiran kosong Tunggal mengikuti perintah tanpa bantahan. Kejadian yang terjadi ketika Tunggal masih sangat belia. 

Ia salah satu dari kumpulan anak-anak jalanan yang tidak mengetahui di mana orang tua mereka berada, bekerja serabutan, mengamen, mengemis, atau menjadi pemulung sampah. Mereka makan dari hasil pencarian pada hari yang sama, tidur berkelompok di bawah kolong jembatan atau sendirian di depan emperan toko. Kebetulan malam itu tubuh lelah Tunggal tertidur sendirian di depan emperan toko yang jarang dilalui orang, sedang teman-temannya tidur entah dimana. Sehingga tak ada seorangpun saksi yang melihat dan bisa ditanyai mengenai kejadian serta asal muasal benda-benda tersebut. Namun, sejak hari ia mengikuti perintah dari alat itu, kehidupan Tunggal berubah, penampilan Tunggal pun sudah pasti ikut berubah.

Anehnya, Tunggal tidak mampu untuk mendatangi dan melihat masa lalunya sendiri. Sekalipun seluruh alat telah dipasang di kepalanya. Tunggal tidak pernah tau mengenai siapa orang tuanya dan dari mana ia bermula.

Matahari telah meninggi ketika Tunggal sampai di alamat yang dituju. Tunggal bergegas menuju kamar Agni, tak ingin membiarkan kliennya lama menunggu. Sesampainya di depan kamar, Tunggal mendapati pintu yang tak tertutup rapat, perlahan ia buka pintu tersebut dan melihat seorang wanita duduk di tepi tempat tidur dengan rambut hitam legam panjang tergerai.

“Selamat siang Bu, saya Tunggal yang beberapa waktu lalu ibu hubungi.” Ucap Tunggal perlahan dari balik punggung Agni.

Agni membalikan badan dan tersenyum. Ia menjulurkan tangan seraya menyebutkan nama.

“Astu.”

“Siapa Astu?”, pertanyaan itu langsung muncul dibenak Tunggal.

Tak lama suster datang ke ruangan tersebut, membuyarkan segala pertanyaan yang mengambang di pikiran Tunggal. Suster itu ditugaskan untuk menemani proses perjalanan ke masa lalu yang akan dilangsungkan sebentar lagi.

Tunggal langsung saja menyiapkan segala peralatan. Ia pasangkan di kepala Agni dan ia pasangkan di kepalanya sendiri. Di antara kepala mereka terhubung beberapa kabel yang berpusat pada satu alat, alat tersebut berfungsi mendeteksi gelombang otak dari orang yang bersangkutan, karena hanya gelombang otak tertentu yang bisa dimasuki dan menceritakan masa lalu. Alat itu juga akan memberikan informasi kepada pikiran Tunggal serta mampu merekam seluruh kejadian mengenai perjalanan ke masa lalu.

Sebelum proses dimulai, Agni memberikan sebuah surat kepada Tunggal. Tunggal menempatkan surat beraromakan bunga mawar itu di saku kemejanya. Surat yang akan ia berikan kepada Agni masa lalu.

Perlahan tapi pasti gelombang otak Agni dimasuki Tunggal, karena hal ini sudah ia lakukan berkali-kali, tidak ada lagi istimewanya bagi Tunggal. Tunggal melihat awal proses kelahiran Agni, kemudian menjadi balita, anak sekolah dasar, remaja gadis yang baru puber, dan bertumbuh menjadi anak kuliahan. Sepintas tidak ada yang aneh dari seluruh perjalanan hidup Agni, lantas apa yang mesti disesali Agni. Tunggal terus mencari kepada Agni yang mana harus ia berikan surat itu.

Kehidupan Agni terasa lurus dan mulus. Namun Tunggal harus merasa curiga, kemudian ia mencoba curiga pada kehidupan Agni ketika kuliah. Agni adalah seorang gadis yang sederhana, pakaiannya hanya terbuat dari kain biasa, sepatunya hanya sepatu kanvas tak bermotif, dan wajahnya hanya disapu bedak tabur murahan yang banyak dijumpai di apotek. Agni terlihat biasa dan tanpa masalah.

Di kelas, Agni bukan mahasiswa yang aktif bertanya, tapi bukan pula mahasiswa yang rajin tertidur ketika diceramahi dosennya. Agni hanya akan memperhatikan dengan seksama seluruh penjelasan. Dalam diamnya Agni mampu menangkap dan menyerap seluruh pelajaran dengan baik. Baiknya lagi, Agni bukanlah seorang yang pelit membagikan ilmu, ia selalu dijadikan tepat bertanya oleh teman yang belum mengerti pelajaran karena tertidur di kelas atau bolos jam pelajaran. Penjelasan dari Agni mudah dipahami, ia pun menjelaskan tanpa rasa keberatan atau perasaan terganggu. Hal yang sangat disukai teman-temannya.

Tunggal terus mengikuti kehidupan Agni, namun bukan mendatangkan titik cerah, melainkan semakin hari semakin membingungkan Tunggal. Tunggal terlena dan simpati akan sosok Agni masa lalu, Agni menggusarkan pikiran warasnya. Hal yang belum pernah terjadi pada perjalanan-perjalanan sebelumnya. Terlebih Agni mampu bermain gitar sembari bernyanyi dengan suara merdu. Tunggal terpana ketika melihat Agni bernyanyi ketika menghibur teman-temannya yang sedang belajar bersama dengannya.

Agni akan selalu jalan sendiri kemanapun ia pergi, ia bukan tipe perempuan yang bergerombol, tapi teman-temannyalah yang akan silih berganti mendatangi Agni. Agni sangat terbuka dengan siapapun yang ingin duduk di sisinya. Namun, Tunggal merasa Agni memiliki satu kehidupan lain di dalam dinding yang ia bangun dan tak mengizinkan siapapun menembus dinding itu.

Sosok yang terbuka sekaligus tertutup, Tunggal makin merasa tertarik. Meskipun berada di dalam masa lalu seseorang, tidaklah mudah bagi Tunggal untuk mengetahui seluruh kejadian, terkadang ada beberapa masa yang harus ia lompati karena tak bisa berlama-lama di sana, ia harus keluar dan menyelesaikan pekerjaan yang lain. Tapi tidak dengan masa lalu Agni, Tunggal betah dan ingin berlama-lama, senyum Agni yang manis membuatnya nyaman, diam Agni yang misterius membuatnya penasaran.

Tunggal kelabu, kepada Agni yang mana harus ia sampaikan surat itu. Agni terus tumbuh dan dewasa, menjadi pekerja di sebuah perusahaan asing, Agni makin memesona. Hingga suatu hari, saat hujan turun dengan derasnya Tunggal melihat Agni bertemu dengan seorang lelaki sebaya di sebuah toko buku. Lelaki ini tidak pula tampan, tetapi badan yang tegap dan pakaian yang serasi sangatlah enak dipandang mata. Jenis manusia pemerhati penampilan. 

Dari cara mereka bertatapan terlihat akrab seperti pernah memiliki hubungan baik di masa lalu atau hubungan indah yang sedang terjalin. Tunggal perlu mencari tahu, siapa sosok yang belakangan ini sering ditemui oleh Agni. Hal yang kemudian terjadi adalah semakin dicari tahu, semakin cemburu. Lelaki klimis itu pemilik ruang besar di dalam dinding yang dibangun Agni. Bangunan tua yang dijaga sejak lama. 

Tunggal membiru, Agni telah membakar seluruh kekosongan di hatinya, merebut habis perhatiannya, menggoyahkan keteguhannya. Namun kisah apa ini namanya, Tunggal bukanlah berhadapan dengan kenyataan, ia hanya menghadapi memori seseorang yang suatu hari akan hilang, hanya ilusi, hanya kepalsuan yang menggelayut di depan dahi. Apa daya, ia begitu cemburu dengan sosok si lelaki.

Dalam pencariannya, Tunggal menemukan bahwa lelaki ini adalah teman sekolah Agni ketika duduk di bangku sekolah menengah atas. Perasaan yang baru saja berkecambah harus layu karena perpisahan yang tak diinginkan. Hanif, lelaki tersebut, harus pindah ke tempat nun jauh di sana dipaksa bekerja demi menghidupi keluarga. Entah ada apa dengan angka 7, namun itulah jangka waktu yang mereka pilih. Tujuh tahun dari sejak mereka berpisah, mereka akan bertemu kembali di tempat yang telah disepakati. Sebelumnya tempat itu hanya sebuah warung biasa, menjual mie instan dan es teh tapi, kini telah berubah menjadi toko buku yang didesain dengan modern.

Dalam ruang hampa itu Tunggal merana, ia belajar rasa suka di tempat yang tidak semestinya. Masa terus berlanjut, Agni dan Hanif mendewasa lalu sepakat untuk hidup bersama. Tunggal tak mampu lagi berada di sana, ia kebingungan dengan perjalanan dan perasaannya. Tunggal kembali, memutus perjalanan ke masa lalu Agni.

Dari seluruh pengalaman berkelana ke masa lalu kliennya, Tunggal belum mengalami kesulitan dalam menemukan si penerima surat. Seperti pencuri di dalam penjara yang mengirim surat kepada dirinya di hari sebelum ia di penjara, pernyataan memaafkan karena di penjara ia mendapati banyak hal baik. Pemabuk yang mengirimkan surat penyesalan pada dirinya yang remaja, mengapa ia tidak menjadi pemabuk ketika ayahnya yang pegawai pemerintah masih kaya raya, kini setelah ayahnya bangkrut ia malah menjadi pemabuk dan dikelilingi hutang ayahnya yang ditinggal kabur. Seorang penari kepada dirinya di hari pertunjukkan, saat itu ia tampil tanpa konsentrasi penuh maka oleng lalu terjatuh dan berakhir dengan cedera di kaki, membuatnya tak mampu lagi menari. Penari itu memperingati dirinya sendiri untuk tidak mencari dan melihat kedatangan sahabatnya, sahabat yang ia sukai, sahabat yang datang kepertunjukkannya dengan kekasih yang baru. 

Berbeda dengan Agni, ia adalah seorang penderita Alzheimer muda, terserang pada usia 30an. Penyakit tersebut memburamkan seluruh ingatan serta mengganggu fungsi mental Agni. Perjalanan ini menjadi sulit karena ingatan Agni yang hilang timbul. Semula Tunggal hanya ingin langsung menebak kepada diri di masa yang mana harus ia berikan surat, tetapi klien dengan daya ingat yang lemah ternyata tidak mudah untuk diselami olehTunggal. Seluruh pengalaman kerjanya selama ini menjadi tidak berarti. 

Setelah kembali kekesadarannya, Tunggal berusaha berdialog dengan Agni. Sayangnya, Agni hanya diam, tidak satu katapun keluar dari mulutnya. Tunggal memahami kekecewaan Agni yang mengetahui bahwa suratnya belum disampaikan, namun ia membutuhkan sedikit penjelasan dari Agni agar bisa memberikan surat tersebut diwaktu yang pas. Tak ada jalan keluar, Tunggal makin kebingungan tentang apa yang harus ia lakukan dan tentang caranya menyikapi perasaannya yang baru saja hadir. Tunggal berkemas, meninggalkan kamar dengan Agni yang masih diam serta suster dengan tatapan penuh pertanyaan.

Di perjalanan, Tunggal tersadar karena aroma bunga mawar dari surat Agni menyapa hidungnya. Tunggal melakukan kecurangan, ia menepikan kendaraan, membuka dan membaca surat yang bukan diperuntukkan pada dirinya. Di sana, terdapat tulisan yang ditulis dengan cepat dan sedikit bergetar, tertera peringatan bahwa Agni muda, tidak boleh datang ke toko buku, harusnya hujan deras tersebut menjadi alasannya untuk tidak datang menemui Hanif.

Sebulan setelah menikah dengan Hanif, Agni terdeteksi menderita Alzheimer. Hanif yang telah ia tunggu dalam waktu yang lama, Hanif yang kepadanya seluruh kasih sayang dan perhatian tercurah, meninggalkannya begitu saja. Bahkan dalam waktu 3 bulan Hanif telah menikah lagi dengan perempuan bernama Astu.

Tunggal bergegas membalikkan kendaraannya ke arah panti sosial. Tunggal ingin memasuki masa lalu Agni kembali dan memberikan surat yang kini berada di dalam genggamannya. Sesampainya kembali di kamar itu, pintu kamar masih sama seperti awal ia datang, tak tertutup rapat.

Ia dapati suster sedang menyisir rambut Agni yang sebetulnya tidaklah kusut, sembari itu Agni membuka suara, berkali-kali ia katakan seharusnya ia tak datang di hari hujan deras tersebut. Setelah sedikit tenang Agni kembali dibujuk untuk melakukan perjalanan. Kali ini Tunggal sangat percaya diri, mengetahui arah mana yang harus ia tuju.

Tiba di waktu yang semestinya, Tunggal tidak memberikan surat kepada Agni muda karena telah diaturnya sebuah rencana. Hujan deras mengguyur, ia berjalan di daerah di mana Agni berjanji temu, begitu melihat Agni dari arah berlawanan ia berjalan cepat, lalu dengan sengaja ia tubrukkan tubuhnya kepada Agni dan segelas kopi yang ia bawa mengotori pakaian yang dikenakan Agni. Agni terkejut, di wajahnya terlukis kekesalan. Jemari lentiknya menyeka tumpahan kopi yang mengotori pakaiannya. Namun tidak tertolong, pakaian itu hanya semakin kotor. Tunggal membuka percakapan, memohon maaf dan menjulurkan sapu tangan. Agni hanya menerima sapu tangan tersebut diiringi hembusan nafas. Ditengah sibuknya Agni menyeka baju, dikejauhan Tunggal melihat Hanif berlalu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 7: Mengobrol

Pekan 8: Game Online, Game Offline

Pekan 5: Menikmati Moment