(Don't) Take it Personal

Tampaknya aku ga bisa untuk ga baper dengan apa yang terjadi dalam kehidupanku, terutama siklus-siklus yang terkadang membelenggu, karena harus dipikirkan baik-baik disikapi dengan cara apa agar tidak terulang. 

Well, kali ini aku ga akan menceritakan semuanya (karena pastinya ga menarik dan who cares? hahaha) hanya 1 cerita yang sedang terjadi (plis jangan bilang who cares?).

Tahun ini alergiku muncul 2x, ga usah mengkambinghitamkan dengan segala makanan, segala sabun-sabunan, atau segala parfum-parfuman, alergi ini muncul jelas-jelas karena stres, karena ada keinginanku yang tidak terpenuhi dan harapanku yang tidak tercapai. Dan aku baper.

Nah, dari kemunculan yang kedua, alergi itu mengulang 2x dalam waktu yang berdekatan. Mungkin diulangan ke-2 makanan yang lalai aku jaga memicu munculnya kembali alergi yang mengerikan ini, tetapi tentu alasan yang lebih kuat adalah stres yang masih bercokol di kepala dan hati (btw alerginya bukan gatal-gatal doang, tapi tiba-tiba muncul luka di hampir seluruh telapak kaki, plis don't look at me like that ;)).

Luka di telapak kaki ini bukan hanya membuatku sulit berjalan, tapi membuat aku tidak bisa "lari dari masalah". Dengan teori cocokologi, luka-luka ini menjadi sangat filosofis karena kukaitkan dengan segala ketidakmampuanku berdamai dengan diri sendiri.

Bagi siapapun yang bisa berdamai dengan hidupnya diusia yang lebih muda atau dengan proses yang lebih cepat, bersyukurlah

Oke, perkara ga bisa berdamai dengan diri sendiri, ya udahlah ya. Setiap makhluk di dunia ini juga pasti sedang berjuang, apapun itu. Nah, aku mau ngebahas dari segi treatment lukanya. 

Dikejadian luka yang pertama panik menyerang, dari luka yang cuma satu menjadi banyak pada hari kedua, bentuk awalnya itu blendungan isi air gitu, trus pecah dan jadi luka. Hari pertama aku kasih minyak zaitun, esoknya ga membaik (kering atau airnya ga banyak). Hari kedua aku kasih gel lidah buaya (dari tanamam asli, bukan Natrep, Wardah, dll), kulit adem dan ga ada rasa perih namun tidak mengering juga. Hari ketiga aku pakai minyak tawon malam harinya, tapi luka jadi semakin mekar hahaha, panik lagi. Tapi ya btw, di hari sejak kemunculan luka-luka itu aku juga berupaya menenangkan diri, berharap hormon stres dan histamin tidak banjir supaya imun aku mampu melawan bakteri dan benda asing lainnya. Hari ke empat orang tuaku mengusulkan untuk ke puskesmas karena mereka juga panik. Saat itu aku jadi sedih. 

Jadi gini, aku kan pernah kerja membantu terapi beberapa pasien kanker, nah itu salah satu protokol saran yang mesti diberikan adalah tubuh bisa memperbaiki dirinya sendiri asalkan didukung dengan baik seperti asupan, bla bla bla, dan me-manage stres. Aku kan terngiang-ngiang dengan ucapanku sendiri, jadi aku ingin berjuang dulu gitu, aku juga atur pola makan, minum jeruk nipis dkk sembari deal-deal-an dengan keadaan.

Tapi, orang tuaku berharap aku mengikuti saran mereka, lalu dengan air mata tertahan aku diantar bapakku berangkat ke puskesmas (rakyat BPJS, harus ke Faskes 1 dulu sebelum dirujuk ke RS atau ditangani mereka jika mampu). Pertahanan ambyar, rasanya usahaku untuk membuat segalanya lebih baik melalui pikiran yang kondusif, makanan yang terjaga, dan kebersihan luka seketika rontok, namun aku ikat kembali dengan pikiran bahwa ke puskesmas pun bagian dari ikhtiar dan ada ridho orang tua disitu. 

Apa sih yang aku takutin dengan puskesmas, pertama aku sebenernya ga mau minum obat kimia sintetik (aku lebih prefer herbal) dan yang kedua aku takut dengan apa yang akan dikatakan dokter ketika ia melihat luka-luka itu, aku takut jika itu gangren diabetes, atau alergi yang benar-benar parah, atau penyakit lainnya.

Aku coba tutupi panik dengan scroll-scroll HP (karena tidak ada yang terlihat ingin saling berbicara, hanya menunggu dengan ekspresi yang macam-macam)  selama mengunggu giliran, sekitar stengah jam nunggu, aku melihat seorang ibu muda berjalan ke arahku dan batinku berkata ia berbeda, tidak seperti yang lain. Dan rupanya ia duduk didekatku dan beramah-tamah dengan bertanya apa yang ingin aku obati di sini. Lalu aku stop dengan HPku dan ngobrol dengan ibu muda itu.

Long story short, ibu muda ini didiagnosa rematik karena ia merasa tulang-tulangnya sakit, namun ada dokter lain yang mendiagnosa kemungkinan ibu muda ini lupus, oleh karena itu ia ke puskesmas untuk mendapat rujukan pemeriksaan ke RS. Waktu dia bertanya kenapa kakiku bisa luka-luka, aku bilang jawaban biasanya aku alergi, tapi jawaban lainnya aku stres. Setelah kukatakan demikian, mengalirlah cerita dari mulut ibu muda yang bergetar dengan mata yang membayang air mata, bahwa selama dua tahun ini ia begitu tertekan dengan kondisi rumah tangga dan hubungannya dengan keluarga. Ibu ini berkali-kali bilang maaf telah cerita panjang lebar, ia butuh teman bicara, karena suatu dan lain hal ia seperti kehilangan orang-orang yang dia kira bisa membantunya. 

Oke guys, stres jelas bisa mencetuskan suatu penyakit, tapi kesepian akan membunuh. So, (meminjam kata-kata teman saya Iam) mari kita saling membersamai, ea.

Setelah saling berkatarsis, perasaan kami jadi lebih ringan. Lalu tiba giliranku, aku merasa lebih pede saat bertemu dokter dan bersiap dengan apapun penjelasannya.

Dari puskesmas itu aku mendapat obat yang diminum dan salep. Obat yang diminum ada 3 (paracetamol, antibiotik, dan CTM), obat itu hanya aku minum 4 kali, lalu aku stop. Antibiotik aku ganti dengan minum teh kelor. Pemakaian salep racikan dokter ini hasilnya cukup memuaskan. Sekitar seminggu, seluruh luka dikakiku lenyap, rasanya aneh bisa menapakkan seluruh kaki ke lantai tanpa rasa takut sakit. Namun tidak sampai seminggu aku senang dengan kakiku yang berganti kulit sehingga menjadi lebih halus, luka itu muncul lagi. 

Ternyata paniknya kejadian kedua melebihi kejadian pertama. Salep yang sebelumnya masih ada sisa, aku pakaikan lagi namun adrenalin menjadi terpacu karena salep itu tinggal sedikit dan ga akan cukup sampai luka ini sembuh. Yang terpikir olehku adalah aku takut dimarahi dokter jika meminta lagi, karena aku agak sedikit brutal ketika menggunakan kakiku yang baru saja sembuh, aku ngepel lagi guys. Yup, kata dokter itu aku alergi cairan pel.

Hari kedua aku inget perkataan tetangga bahwa kunyit dan madu ampuh keringkan luka. Dan aku coba membuatnya untuk dioleskan. Tidak hanya dioleskan, aku membuat kunyit dan madu juga untuk diminum (tapi hari berikutnya aku minum temulawak dan madu, temulawak bagus untuk detox liver). 

Perjalananpun dimulai, sambil merawat luka-luka pada telapak kakiku yang menangis (dari luka itu keluar plasma darah yang menandakan tubuh sedang memperbaiki jaringannya cenah), aku berpikir mungkin ini kesempatan kedua untuk aku bisa mengatasi luka-luka ini dengan caraku (ya ampun aku sok-sok-an buuuanget) sesungguhnya ini berisiko karena luka yang tidak ditangani dengan baik berakibat fatal dan alergi yang parah bisa membawa pada nafas terakhir. 

Hari kedua, penggunaan salep distop dan diganti dengan pasta kunyit dan madu. O Tuhan, perihnya sampai ubun-ubun, apalagi ketika berdiri, seluruh darah berserta jantung turun ke kaki, amboi sakitnya. Tapi luka menunjukan sedikit bagian ada yang kering.

Hari ketiga luka kecil-keci kering total, luka yang cukup besar kering sebagian, namun nambah luka lagi dibeberapa lokasi. Semangatkupun kembang kempis.

Hari keempat masih sama dan ada juga nambah sekitar 2 lokasi. Dalam hening aku coba untuk tidak menangis.

Hari kelima, yaitu hari ini. Aku kembali semangat, karena harus seperti itu. Kemudian aku melakukan percobaan. Untuk kaki kanan aku coba oleskan dengan campuran pasta kunyit dan madu, untuk kaki kiri aku coba oleskan dengan campuran pasta kunyit dan VCO (minyak kelapa). Aku tidak tau hasilnya, coba dilihat besok.

But, yang jelas keyakinan kita akan sesuatu itu penting sekali, karena akan sangat mempengaruhi mindset, perasaan, dan seluruh sel-sel di otak. Aku bicara bukan berarti sudah ahli, tapi karena aku masih berjuang, trial and error. Lalu ya berpikir ringan aja, atau ya udah ga usah terlalu dipikirin, toh Tuhan Yang Maha Baik akan mengatur semuanya tanpa cacat (ya ampun, ngomong sama kaca!). Lalu aku memang harus menyelesaikan siklus ini, masalah ada untuk dihadapi, bukan untuk diajak lari-larian. 

Dan ya udah, segitu aja ceritanya. Suwun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 7: Mengobrol

Pekan 8: Game Online, Game Offline

Pekan 5: Menikmati Moment