Untuk Bapak

Bapak, hari ini bapak ulang tahun, 6 Juli. Saya tidak akan mengungkit-ungkit tahun berapa bapak dilahirkan. Agar bapak selalu merasa muda.

Beberapa tahun lalu (bila diangkakan sudah berkepala dua) saya harap bapak merasa bahagia dengan lahirnya saya.
Saya kecil dan bertumbuh, terima kasih bapak karena telah mencukupkan saya.
Saya kemudian sekolah dan bertemu dengan banyak teman, terima kasih bapak telah menyuapkan sarapan dan memasangkkan sepatu sotik saya setiap ingin berangkat sekolah, karena jika saya pasang sendiri pasti tertukar. Kenapa sulit membedakan kiri dan kanan.

Bapak, saya ingat (ketika saya telah mengerti) bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan pertemuan kita bapak. Teman-teman saya bertemu bapak mereka setiap hari, setiap malam makan bersama. Tapi saya, hanya bertemu bapak seminggu sekali. Saya tau bapak bekerja. Bapak, dalam artian yang lugu saya sangat rindu hari seminggu sekali itu.
Itu berlangsung hingga saya remaja bapak. Saya merasa bertumbuh dengan mengembangkan wejangan bapak yang saya dapatkan hanya seminggu sekali.
Tapi saya senang.

Bapak, sesungguhnya ketika dulu saya mengenal tentang cinta monyet.
Intensitas saya berdoa meminta perlindungan Allah atas diri bapak sedikit berkurang. Saya mengawali pagi dengan mendoakan orang yang saya sukai, cinta monyet itu.
Ketika hujan turun ditambah dengan gemuruh atau gledek saya tidak tahu, yang jelas suasana jadi kurang mengenakkan, saya berdoa agar Kasih saya selamat sampai rumahnya sementara saya juga tahu bahwa bapak sedang perjalanan pulang kerja ke rumah dengan motor butut. Tapi saya menyebut namanya dalam doa saya lebih dulu.
Saya minta maaf karena bapak bukan lagi menjadi yang pertama di dalam doa saya. Apa perlu saya mengutuk yang namanya masa mengenal cinta monyet?

Beberapa tahun kemudian setelah beberapa kali ulang tahun bapak keadaan berbalik, saya lah yang pergi meninggalkan bapak. Merantau atau kuliah, kuliah atau merantau.
Saya minta maaf jika keputusan-keputusan saya sulit untuk bapak terima.
Dan saya sangat berterima kasih atas keputusan bapak melepaskan saya.
Saya pergi dalam empat kali ulang tahun bapak. Kita menjadi lebih dekat dengan pertemuan yang terulang setelah berbilang bulan.
Pembicaraan telah berbeda bapak, lebih ruwet dari yang dulu-dulu.
Saya ingat, suatu malam yang tenang sambil duduk makan-makan saya bertanya siapa presiden yang akan bapak pilih dipemilu mendatang, karena itu adalah pencoblosan saya yang pertama saya butuh pandangan bapak terhadap para kandidat. Kita bicara politik bapak.
Saya minta maaf bapak, diulang tahun bapak yang berikutnya saya belum bisa memutuskan untuk pulang kerumah, saya masih mencari sesuatu diperantauan saya.
Terima kasih bapak, meski sulit menerima keputusan saya bapak tetap melepaskan saya.
Lagi pula bapak masih pulang seminggu sekali.
Bapak masih berkerja.
Diulang tahun bapak yang sekarang (ternyata sudah 6 kali ulang tahun bapak) ternyata keadaan belum jauh berbeda.
Saya masih dalam pencarian sesuatu diperantauan dan bapak masih pulang seminggu sekali.

Bapak, disuatu hari yang indah kelak saya ingin setiap hari kita bisa ngobrol sambil menyesap teh hangat yang saya seduh, mungkin sore hari, petang.
Saya telah menemukan sesuatu dan bapak tidak pulang seminggu sekali lagi.
Bapak, saya menyayangi bapak, selamat ulang tahun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 7: Mengobrol

Pekan 8: Game Online, Game Offline

Pekan 5: Menikmati Moment