Petrikor


Sore itu, hujan rintik tiba-tiba turun. Telah lama tanah ini tidak basah oleh hujan. Meskipun karena itu aku sempat terhenti sejenak, akhirnya aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan.

“Aku sudah basah oleh keringat untuk apalagi takut basah oleh sedikit hujan.” Batinku.

Ku hirup udara lembab yang tipis, ku susuri jalanan yang dilalui orang-orang yang takut basah, menepi ke emperan toko atau berteduh di bawah tenda pedagang kaki lima. 

Sampaiku di sebuah warung kopi, ku buka pintunya dan lonceng berdentang, sang nenek tersenyum selamat datang. Ku balas senyumnya dan berjalan menuju ia yang telah menungguku.


“Apa kau tersesat menuju ke sini?” ku dengar suaranya yang berat.


Ia tak menungguku duduk dengan baik dulu, ia sungguh tak sabar menyampaikan kritiknya. Aku diam saja, ku gantung tas dan jaket pada sandaran kursi lalu ku duduk, ku silangkan kakiku.


“Aku memesan minuman dulu boleh?” Ku tatap wajah yang selalu aku cari setiap aku butuh teman bicara.


===


Secangkir kopi kampung panas, segelas es milo, dan sepiring getuk tanpa taburan kelapa tersaji di depan kami. Kami sama-sama tidak menyukai kelapa parut.

“Mereka memasukkan kapulaganya terlalu banyak. Rasa kopinya jadi kurang sedap.” Setelah sedikit ngedumel, kembali ku sesapi kopi yang masih mengepulkan asap.


“Mengapa tiba-tiba kau ingin menikah?” Tanyanya dengan lugas.


“Kau sungguh tidak sabar, nikmati dulu es milomu, minuman dingin membuat hatimu dingin.”


“Aku perlu menjadi bidak catur putih, melangkah duluan. Jika aku terlena dan kau yang duluan membuka mulut, kau pasti akan mengomentari penampilanku, kaosku yang belel, celanaku yang dekil, sendal jepitku, bahkan kaos dalamku, segalanya yang menempel pada diriku akan kau komentari. Aku pusing.” Jawabnya cuek.

Aku menyunggingkan senyum menutupi hati yang tersinggung. Ia benar.


“Aku merasa perlu menikah, petualangan yang ingin aku coba.” Aku mencoba menjawab pertanyaannya.


“Kau pikir pernikahan sesuatu yang mudah? Hidupmu akan terikat pada komitmen dan tanggung jawab.” Jawabnya ketus sambil mengaduk-aduk es milonya dengan sedotan.


Mendengarnya membuatku terdiam, lalu ia pun diam, kami sibuk dengan aktivitas otak masing-masing.


“Ini roti yang baru nenek panggang.” Suara nenek, gerakan tangan nenek menyodorkan sekeranjang roti, dan aroma khas roti membangunkan kami.


“Nenek membuat roti karena ia akan datang hari ini.” Ucapnya sambil tersenyum dan berlalu dari meja kami.


Warung kopi ini adalah milik seorang pembuat roti, istrinya merupakan seorang penulis. Selain minuman dan makanan, tempat ini dipenuhi buku, mainan tradisional, dan benda-benda kenangan si empunya. Waktu berlalu, mereka menua, si kakek pergi dan tak kembali. Nenek mencoba move on dengan tidak menyajikan roti di dalam menunya, meninggalkan kue-kue tradisional. Tapi move on tinggal cerita, nenek gantungkan bel di pintu masuk warung ini, berharap ketika berdentang, wajah si kakek yang muncul. Ia pun sesekali jika mood lagi bagus, akan membuat roti yang pernah diajarkan suaminya dan membagikan secara acak kepada pengunjung. Kebetulan hari ini rejeki kami.


===


“Aku ingin menikah bukanlah hal yang tiba-tiba, ini adalah harapan sejak lama, sejak Si masa lalu itu tak bisa kuharapkan. Setiap hari, setiap melakukan perjalanan, setiap bertemu orang, setiap duduk di cafe atau restoran, setiap ke toko buku, setiap ke taman hutan kota, ku harap bertemu jodohku, teman menuaku.”


Ku angkat kepalaku dari menatap kopi, kuharap bertemu matanya, nihil, ia sibuk memotong-motong roti lalu memakannya. Ku lanjutkan kalimatku.


“Bukan berarti aku menutup semua masalah dengan menikah, bukan pula aku ingin menggantungkan hidup kepada seseorang dengan menikah. Sesungguhnya sebesar keinginanku, sebesar itu pula ketakutanku.”


“Kau pikir menjadi istri dan ibu rumah tangga cocok untukmu? Kau akan kelelahan, kau akan jenuh dengan rutinitas yang sama setiap harinya. Jika kau punya anak, kondisi akan lebih kacau lagi.” Jawabnya enteng dengan mulut penuh roti.


“Begitukah?”


“Coba saja, kau tidak akan tau jika tidak mencobanya.”


“Meskipun sulit aku tetap ingin menikah." Kalimatku mantap. Ku tarik napas dan ku lanjutkan.

"Tetapi ada ketakutan yang memenuhi kepalaku. Bagaimana jika aku menikah dengan orang yang salah, aku belum lama mengenalnya dan tidak mengetahui tabiatnya dengan baik?” Nada suaraku sedikit naik, tak bisa ku sembunyikan kecemasan.


“Memangnya mau mengenal dia seperti apa?”


“Entahlah, mungkin lebih banyak mengetahui kekurangannya, kelemahannya, profil keluarga besarnya, masa lalunya, atau apa yang disukai dan tidak disukainya, mungkin...” Kataku dengan menurunkan intonasi suara pada ujungnya.


Obrolan  kami selingi dengan menikmati makanan dan minuman yang di pesan, menyeruput minuman, memakan sedikit demi sedikit getuk yang tergolek sepi.


“Mengapa pakai sendal jepit?” Aku buka percakapan kembali. Ku lipat tanganku di meja, seperti sedang menunggu terdakwa bicara.


“Aku hanya memakai apapun yang nyaman, itu saja. Sudahlah, tidak perlu berpanjang pikir, aku tidak modis lah, aku tidak menghargai orang yang ditemui, aku tidak menghargai tempat yang dikunjungi, kenapa kita harus menghargai sebuah tempat, untuk apa?” Jawabnya dengan intonasi yang naik turun.


Pertanyaan yang bukan diniatkan untuk bertanya. Ia memang cenderung seenaknya. Kami diam, melihat minuman masing-masing sambil menikmati aroma kertas pada buku tua, bau cat pada lukisan semesta yang terpajang rapi di salah satu dinding, dan wangi bunga mawar dalam vas di atas meja.


“Ia bisa berubah, kau pun bisa berubah, ia berpotensi menyakitimu, kau pun berpotensi menyakitinya, mengenal sebentar atau lama bukanlah jaminan hubungan yang langgeng. Jika kau pikir ia setia, bisa jadi suatu hari ia berkhianat, jika kau pikir ia jujur, bisa jadi suatu hari ia berbohong. Sebaliknya juga pada dirimu. Kita tidak pernah benar-benar memahami seseorang, yang kita lakukan adalah melakukan penyesuaian dan menerima ketentuan rejeki kita.” Jawabnya ringan, tanpa ekspresi tertentu.


“Tapi aku masih merasa takut. Apakah ia seorang yang disiplin? Apakah ia rajin menyikat giginya? Apakah ia meletakkan handuk basah di rak handuk? Apakah ia makan mengecap, tidur mendengkur, ngences di bantal?” Ku lanjutkan obrolan kami, kini aku menjadi lebih antusias, mumpung ada tema dan teman bicara. Bicara kepadanya seperti candu, meskipun aku terkadang risih dengan penampilannya, tapi aku tetap memilih ia sebagai penampung keluh kesahku. 


“Bisa iya, bisa tidak. Tidak perlu terlalu dipikirkan, kau menikah dengan manusia, bukan dengan malaikat yang selalu benar dan bukan juga dengan setan yang selalu salah. Maklumi saja.”


“Apa nanti dia akan mendengar pendapatku? Apa dia akan memutuskan suatu hal sendiri? Apa ia akan pergi tanpa ijinku? Apa dia diam-diam berhutang? Apa dia memiliiki rahasia?” Aku yakin saat ini wajahku seolah sedang menyimpan banyak kecurigaan.


“Kita cenderung akan mengandalkan orang di samping kita untuk bercerita dan berbagi segalanya, asalkan tempat itu nyaman. Kita juga akan sama-sama berbagi rahasia dan menyimpannya. Saling memahami dan saling menghargai pendapat sangat penting dalam sebuah hubungan. Dan jika sudah saling percaya komunikasi yang jujur pasti terbentuk.”


“Bagaimana jika lemari baju tidak sempat ku rapikan? Bagaimana jika masakanku tidak enak? Bagaimana jika karena lelah, tidak semua sudut rumah mampu aku bereskan? Bagaimana jika hal-hal kecil itu membuat ia marah?”


“Dengan kasih sayang Allah semoga ia mengerti apa yang terjadi pada rasamu bahwa kamu pasti merasa jenuh, pada tubuhmu bahwa kamu pasti merasa letih dalam mengurus rumah dan anak-anak kelak. Aku ke toilet dulu.” Jawabnya lugas sambil meninggalkanku dengan jidat berkerut.


===


“Cobalah menikah, kalian akan belajar mencari gelombang agar bisa di frekuensi yang sama, melakukan banyak penyesuaian, belajar memperbaiki diri, dan biarkan keihklasan menguasaimu.”


Toilet membuatnya jadi lebih bijak memilih kalimat.

“Bagaimana dengan meninggalkan orang tua, hidup jauh dari mereka, tidak bisa setiap saat melihat mereka. Aku sangat gugup ketika memikirkan hal ini.” Napasku tertahan, di kepalaku sudah terbayang adegan perpisahan.


“Dalam hidup, manusia di luar diri kita akan datang dan pergi, sudah alurnya seperti itu. Setiap orang tua akan belajar melepas anaknya hidup bersama keluarga barunya.” Ucapnya dengan nada rendah seolah ingin menenangkanku.


“Bagaimana rasanya memiliki mertua, saudara ipar, bude pak de baru, nenek kakek baru, sepupu baru? Bagaimana jika mereka tak menyukaiku? Atau bagaimana jika kami berselisih paham?” Ucapku sambil sedikit mengembangkan tangan.


“Seperti kau menemui orang-orang yang bersinggungan jalan denganmu saja, kau hanya perlu berbuat baik kepada mereka, bicara saja secara normal, menjaga tata krama dan bahasa, memberikan perhatian, menanyakan kabar, memberi makanan, ya lakukan hal yang wajar saja. Kelak kau akan menyesuaikan diri dengan alami...”


Ku reguk tegukan terakhir kopi kampung yang tidak lagi panas, ku tinggalkan ampasnya. Ku acungkan tangan dan ku pesan bir pletok.


“Bagaimana jika aku merasa bosan dengan dia?”


“Mudah-mudahan kebosanan terobati dengan pelukan, asalkan ia bersedia memelukmu. Hehe.” Ia terkekeh, wajahnya iseng.


“Liburan itu penting, jalan-jalanlah ke tempat-tempat yang baru. Mengobati jenuhnya rutinitas dan menghangatkan kembali hubungan kalian. Ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang belum pernah dilakukan juga pasti seru. Bersenang-senanglah.” Lanjutnya dengan suara berat yang khas.


“Jika hal buruk terjadi?”


“Hidup tenang dengan pikiran positif, baper pun ada rambu-rambu dan batasnya.”


“Bagaimana jika kami berselisih dan berbuntut panjang, alot dan saling tidak mau mengalah?. Sebentar, aku ingin buang air.” Lanjutku sebelum ia membuka mulut.


===


“Perselisihan ada untuk membuat kita belajar saling memahami, menguji keterampilan kita menemukan titik temu, bukan titik lemah.” Ia menghela napas.


“Ridho atas ketetapan Ilahi, jangan sedikit-sedikit mengeluh hingga berbuntut amarah. Kuatkan diri kita, untuk tidak terlalu sensitif terhadap aib.” Lalu ia sedot es milonya.


“Seperti kalian masing-masing sedang memegang ujung benang, tarik-menarik pada arah yang berlawanan hanya akan membuat tali menjadi putus.” Lanjutnya masih dengan sedotan di dalam mulutnya.


“Kenapa setiap janji temu kau terlambat?” Ucapnya datar.


Aku tersentak, karena terlalu fokus mendengar petuahnya.


“Mengapa ia kembali ke nol.” Kataku dalam hati.


“Tidak tahu juga, selalu saja begitu.” Jawabku asal sambil memalingkan wajah ke kiri dan mengosok-gosok tengkuk dengan tangan kananku.


Dalam hati ku berkata. “Aku selalu datang lebih dulu, tapi aku mengamatimu dari kejauhan, rasanya diriku sangat berharga ketika ada yang menungguku, mengkhawatirkan aku, tidak sabar ingin bertemu denganku, hehe. Meski belum tentu kau memikirkan aku selagi menunggu.”


“Kelak aku ingin banyak melakukan perjalanan bersama dia, bila perlu kami berjalan kaki tanpa alas kaki... kemana saja. Aku ingin kami berbicara, berpikir, dan diam bersama sepanjang perjalanan itu.” Ucapnya sambil menatapku.


“Kelak bersamanya pembicaraan bukan lagi tentang diri, tapi tentang mimpi-mimpi yang akan kami wujudkan bersama.” Lanjutnya masih dengan tatapan yang sama.


“Aku butuh ia yang membawakan raket nyamuk untukku.” Jawabku iseng memecah keseriusan yang terasa canggung. Kami tertawa. Terkadang terasa sangat ringan, terkadang juga terasa berat ketika mengobrol bersamanya, terkadang sebagian kalimatnya tak mampu dicerna otakku.


"Karena kau selalu yang duluan digigit nyamuk ya..." Jawabnya terkekeh lalu diam.

“Jika kau telah bersama seseorang, jangan biarkan dirimu merasa sendirian, mengejar atau mencari sesuatu sendiri, kau akan kejauhan dan nyasar. Bicaralah pada ia yang sedang membersamaimu.” Lirihnya, hampir-hampir tak ku dengar suaranya.


===


“Cinta? Cinta katamu, sejak kapan kau bisa mengeja cinta?” Suaranya tiba-tiba keras meremehkanku, hampir menarik seluruh perhatian pengunjung.


“Cinta memang sebuah keniscayaan, tapi niat ketika memulai hubungan adalah hal yang penting. Tidak ada niat lain kecuali aku ingin berpasangan dengannya di dunia dan di akhirat.” Jawabnya tegas, sangat berbeda dari ekspresi sebelumnya.


Bir pletokku tinggal setengah, es milonya satu kali sedot lagi tandas, getuk pun ludes, menyisakan roti yang tinggal sepotong. Berbicara dengannya menghabiskan energi, ku pikir aku perlu memesan kudapan lagi, tapi ia mencegahku. Sudah cukup apa yang kami makan katanya. Ku lanjutkan obrolan kami sambil kuhabiskan roti yang tinggal sepotong.


“Mungkin aku perlu bikin perjanjian nikah, semacam peraturan-peraturan yang harus kami taati bersama dan visi misi kami berkeluarga. Nanti akan di evaluasi secara berkala. Kami bisa saling bertanya, apakah tujuan kami masih sama.” Kataku  datar sambil duduk bersandar dan melipat kedua tangan di atas perut.


“Boleh juga, masing-masing pasangan perlu mencari posisi enak mereka dalam berkomunikasi dan menjaga ikatan mereka.” Tak kusangka ia menanggapi dengan serius. Kupikir ideku hanya ide gila baginya.


“Bagaimana tanaman-tanamanmu? Masih sempat kau rawat?” Tanyanya padaku.


“Sampai nanti aku mempunyai satu orang bahkan lebih yang perlu aku “rawat” pun, aku akan tetap merawat tanaman-tanamanku. Kunyit, jahe, dan kawan-kawannya sudah seperti makanan pokokku.” Jawabku dengan senyum yang mengembang, sedikit saja menyinggung tanamanku sudah membuat darahku berdesir. Jika tidak ku tahan, semua informasi mengenai khasiat bahkan nama latin dari tanamanku pasti akan meluncur dari mulutku.


“Jika kau sudah mantap ingin menikah, ya menikah sajalah. Menikah bukan hal seram, mungkin seperti ujian keimanan dan kesabaran dan itupun tak mungkin besar, hingga tak mampu kau tanggung. Jangan terlalu berbenturan dengan logikalah, mainkan iman dan hatimu.”


“Hmmm....” Aku menghela napas. Lalu menghirup habis bir pletokku.


“Aku buang air lagi ya...”Ijinku padanya.


===


Aku kebingungan, dari depan pintu toilet aku melihat mejaku kosong, menyisakan piring dan gelas kotor, kemana ia pergi. Sesampaiku dimeja, tak kutemukan pertanda apapun, lalu aku memakai jaket dan tasku, ku putuskan untuk keluar dari warung kopi ini. Aku berjalan ke arah kasir. Sebelumnya aku lemparkan senyum kepada wanita yang seluruh lahan wajahnya dijajah oleh kerut. Sambil ku rogoh uang di dalam tas, aku bertanya kepada sang kasir.


“Mbak, seseorang yang bersama saya tadi kemana ya?” tanyaku sambil menyerahkan uang pembayaran.


“Orang yang mana ya mbak? Dari awal mbak hanya sendirian, semua sajian juga mbak habiskan sendiri, tidak ada orang lain.” Jawabnya ramah sambil tersenyum.


Setelah kutuntaskan pembayaran, aku berjalan menuju pintu, aku linglung, heran oleh jawabannya.


“Kemana ia pergi?” Gumam hatiku.


Ku buka pintu warung kopi, ku langkahkan kaki keluar, berdentang lonceng yang digantung tepat di atas kepalaku, hujan rintik telah usai dan di luar, ku temukan... petrikor*.

===

*Petrikor: Aroma harum tanah kering saat terkena hujan.

===

Terima kasih kepada handai taulan yang telah membantu terwujudnya cerita -abal-abal- ini :) Bang Top, Abi Imam, Gastem, Mbok Al, Mbakyu Nita, Bunda Rica, Bunda Putri, Lalit, Risma, Neng, Bebeb, dan Bu Asri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 7: Mengobrol

Pekan 8: Game Online, Game Offline

Pekan 5: Menikmati Moment