Opia


Sore yang hangat. Toko buku itu baru saja buka, aktivitas di dalamnya belum terlihat sibuk. Tidak ada antrean di kasir, tiga orang penjaga toko di area masing-masing hanya menata ulang deretan buku yang sebenarnya masih rapi. Pengunjung belum ramai hanya terlihat tiga orang saja.

Toko ini istimewa, buka mulai sore hari dan tutup pada dini hari. Menjadi pilihan tujuan bagi makhluk insomnia. Bergandengan dengan toko buku terdapat kedai kopi. Sengaja dibuat bertujuan untuk memfasilitasi pembeli yang ingin segera membaca buku yang dibeli sambil minum kopi.

Suasana yang lengang membuatku bisa langsung menemukannya seketika masuk ke dalam toko buku. Kerap kali aku membuat janji temu dengannya di toko buku ini. Aroma kopi dan bau kertas menyatu diudara yang kami hirup, alunan instrumen menyamankan telinga, kami betah berlama-lama.

Kali ini penampilannya rapi. Alas kakinya sneakers, atasannya kaos oblong putih polos dan jaket parka berwarna hijau lumut dipasangkan dengan bawahan jeans berwarna gelap. Kebetulan sekali warna jaketnya senada dengan warna overall yang ku kenakan. Peristiwa langka.

Ku lihat ia sedang fokus dengan sebuah buku. Wajahnya serius, tangannya membolak-balik buku. Aku berjalan ke arahnya.

"Buku tentang apa?" Sapaku padanya. Ia menoleh dan sedikit terkejut melihatku telah berdiri di sampingnya.


"Aku belum tahu, buku ini baru saja aku ambil dari rak. Gambar sampulnya menarik."


"Memangnya maksud gambar ini apa, corat-coret begini." Aku melihat buku itu kebingungan mencari letak menariknya.


"Menarik ya karena corat-coret ini. Sesuatu yang sudah jelas gambarnya tidak menarik... bagiku." Senyumnya mengembang, mendukung hal yang disukainya.


Ia letakkan kembali buku itu di tempat semula dan kami mulai berjalan perlahan menelusuri rak-rak lainnya.


===

"Bagaimana kabar tanaman-tanamanmu?" Ia memulai percakapan.


“Apakah kabar tanaman-tanamanku lebih penting ketimbang kabarku?” Ku balas pertanyaan dengan pertanyaan.

“Mmmm...” Ia balas dengan mengembangkan senyum.

"Baik. Aku sekarang mulai menanam mawar, tapi hanya mawar merah. Ada dua tanaman merambat juga yang baru aku tanam. Bunga telang dan sirih merah." Informasi kuberikan lengkap.


"Mengapa hanya mawar merah?"

"Karena warnanya mencolok, menarik mata untuk memandang." Sambil tersenyum kuungkapkan alasanku karena di kepalaku terbayang bunga-bunga itu sedang bermekaran.


"Untuk bunga telang dan sirih merah dibuatkan tonggak?" Lanjutnya.


"Sementara ini merambat di pagar."


"Hmmm..."


Kami terdiam. Tetap berjalan perlahan. Tangan meraba-raba buku yang dipajang.


Di dalam kepalaku berputar-putar kalimat. Bingung memilih yang cocok diucapkan untuk mulai membahasnya. Ya, sudah tentu aku menghubunginya karena aku butuh teman bicara.

"Sepertinya bukan dia orangnya." Ku buka suara, telapak tanganku basah karena sedikit tegang.

“Sejak kau meminta kita bertemu beberapa waktu lalu, aku mulai menebak-nebak apa yang ingin kau katakan kali ini. Ku pikir jalanmu menuju pernikahan akan mulus setelah bertemu dengan pujaanmu. Kau begitu terkesan dan menyukainya. Mengapa sekarang berubah?”

“Sebenarnya aku suka mengingat kejadian kala pertama bertemu dengannya.” Aku jadi tersenyum, ketegangan sedikit hilang.

“Malam itu aku begitu ketakutan karena ada seorang gali* yang mencoba merampas tasku. Ketika kami bertarik-tarikan dia datang, membantuku tepat waktu. Kami berhasil menyingkirkan gali itu dan tasku selamat. Padahal aku tidak berdandan menarik dan isi tasku hanya buku dan alat tulis, tidak ada barang berarti yang bisa dijual mahal oleh gali itu. Tapi mungkin garis takdir, alasan pertemuanku dengannya.”

“Malam itu lampu jalan membantuku melihatnya, ia memiliki bentuk mata yang sangat aku sukai. Aku terkesan dengannya. Lalu ia berinisiatif mengantar aku pulang, kami berjalan bersisian, mengobrol sederhana layaknya orang-orang lain yang baru saja dipertemukan. Setelah itu terjadi perjumpaan-perjumpaan berikutnya. Aku menyukainya. Kemudian ia menjadi pujaanku.” Kalimatku mengalir lancar.  

Ia terhenti di sebuah rak buku. Tangannya mencatut satu buku, sampulnya berwarna merah terang tanpa gambar, hanya ada tulisan judul berfont kecil yang tercetak di sudut kanan bawah buku.

“Ini untukmu.” Ujarnya sembari menyerahkan buku itu kepadaku. Ku terima buku dari tangannya, hanya kulihat-lihat tanpa tertarik ingin bertanya atau membahas buku ini tentang apa.

“Kita ngobrol sambil ngopi ya.” Sambungnya lalu berjalan ke arah kasir. Aku mengekor tanpa bersuara apapun.

===

Harum kopi menyeruak dari gelasnya, sedangkan dari gelasku tersebar bau enak cokelat panas.

Buku yang ia belikan masih ku pegang.

“Apa yang terjadi di antara kalian selanjutnya?” Ia kembali memulai percakapan.

“Yang terjadi kepadaku adalah hal klise, hubungan kami tidak direstui orang tuanya. Tapi untuk beberapa waktu pendapat orang tuanya itu tak menyurutkan hubungan kami. Bahkan kami terus berupaya agar bisa mengantongi restu orang tuanya.”

Ku reguk cokelat panas yang kini sudah hangat.

“Pujaanku tetap memperlakukanku seperti biasa, bahkan aku jadi semakin yakin dengannya, aku semakin optimis tantangan mendapatkan restu bisa kami lewati.”

“Lalu?”

“Hari itu aku diajak untuk makan malam bersama keluarganya. Perutku yang lapar seketika menjadi begitu sakit sampai keringat dingin.”

“Itu artinya kau sangat lapar.” Kalimatnya memotongku.

“Bukan.” Sahutku cepat.

“Seorang perempuan seumurku ikut duduk bersama keluarganya. Anak teman ayahnya kata mereka. Seketika aku benar-benar kehilangan nafsu makan, perasaanku tidak enak.”

“Lalu apa yang dilakukan pujaanmu?”

“Pujaanku tidak berlaku apapun pada perempuan itu, hanya sebatas sapaan dan perkenalan. Malam itu dia mengantarku pulang, setengah jalan dia berhenti di suatu tempat makan. Katanya dia ingin makan lagi. Aku tahu yang dia lakukan itu untuk melindungiku dari kelaparan tengah malam. Aku hanya makan sedikit saat bersama keluarganya.” Aku tertunduk, semua kenangan itu menggenangiku.

Kulihat ia menggerakkan tangan ke arah pramusaji. Ia memesan nachos.

===

Sambil mengunyah nachos yang dipesannya, ia bertanya kepadaku.

“Mengapa sekarang menanam bunga? Bukannya kau hanya menanam bumbu dapur?” Mulutnya tetap mengunyah.

“Karena pujaanku. Ia pernah memberiku bibit bunga mawar merah.”

“Jadi bukan karena warna bunganya yang mencolok?”

“Alasankan boleh lebih dari satu.” Jawabku dengan bibir tersungging.

“Oia, yang ku tanam bukan sekedar bumbu dapur, tapi tanaman-tanaman yang juga berfungsi sebagai obat. Kamu ingatkan waktu kakekku menderita kanker paru, meskipun kini telah tiada tapi olahan dari tanaman-tanaman yang aku tanam cukup membantunya bertahan.”

Mengingat kakekku, kami menghela nafas bersama.

"Aku pernah berpikir untuk melepasnya.” Ku lanjutkan kisahku.

“Namun sikap baiknya membuat aku ragu. Aku makin menyukainya. Hingga pikiran itu terlintas, seandainya ia seorang yatim piatu. Huh...” Aku menutup mukaku dengan buku merah itu.

“Restu orang tua hanya awal. Rintangan yang dihadapi kedepannya pasti akan lebih besar jika kalian tetap berjalan bersama tanpa restu itu.” Ujarnya.

“Kamu benar, pernikahan dengan restu orang tua saja bisa berakhir dengan perselisihan antara mertua dan menantu. Apalagi yang tidak direstui, untuk apa hidup dalam seteru. Belum lagi jika perselisihan melebar, hingga hubungan antar besan yang kurang baik atau hubungan ipar yang tidak harmonis.” Jeri aku membayangkannya.

"Sesungguhnya aku bercita-cita untuk menikah dengan seseorang yang memiliki keluarga besar. Hubunganku dengan orang tua tidak seindah dan seideal yang aku inginkan. Mungkin keberadaan mertua bisa memfasilitasi hasratku, aku juga tidak punya saudara kandung, bisa menikah dengan seseorang yang memiliki keluarga besar pasti seru." Ucapnya seraya menengadah kelangit-langit. Mungkin ia sedang membayangkan beberapa adegan.

Aku hanya tersenyum, tak bisa menanggapi pernyataannya. Dalam hati ku berkata "Semakin besar keluargamu, semakin banyak perasaan yang mesti dijaga. Mungkin akan melelahkan."

===

"Hidup memang terlalu kompleks." Ku pecahkan suasana yang lengang.

“Kalian cukup lama bertahan, pasti kalian sudah membahas persoalan ini, bagaimana titik temunya?”

“Entahlah, belakangan ada sedikit kejanggalan dari sikapnya. Setiap aku akan membahasnya dia mengalihkan pembicaraan. Dia juga mengganti aroma parfumnya.”

“Ada korelasi dengan aroma parfum?”

“Ya, dia cukup konsisten dengan pilihan dalam menata diri, gaya berpakaian, gaya rambut, aroma parfum bahkan merek pasta gigi dan sabun mandi, selalu sama. Bisa dikatakan pujaanku golongan orang setia...” Aku tersenyum, di kepalaku terlintas harum tubuhnya.

"Sejak aku mengenalnya, dia tak pernah mengganti parfumnya, dia bilang aroma itu sudah dia pakai sejak sekolah. Ketika kutanyakan perihal aroma yang berubah itu, dia jawab bahwa parfum itu pemberian temannya, dia coba pakai untuk menghargai pemberian temannya.” Lanjutku.

“Lalu?”

“Pasti perempuan yang memberikan parfum itu, perempuan dengan perasaan lebih dari teman. Aneh bila teman laki-lakinya yang memberikan parfum itu. Dia pun mulai jarang menghubungiku, sedang menghubunginya kini menjadi sulit. Jika sudah bertemu kami lebih banyak diam, seperti kehabisan kata, hanya fokus pada aktivitas otak masing-masing. Ditambah dengan harum tubuhnya yang berbeda, dia perlahan menjadi asing bagiku. Tapi aku masih melekat kuat pada sosoknya.” Lagi-lagi aku tertunduk.

"Tidak kau tanyakan bagaimana keyakinannya terhadapmu sekarang?"


"Entahlah. Aku tak bisa menanyakannya."


"Atau lihat saja matanya. Lagi pula kamu sangat menyukai matanya, bukankah dari mata dapat ditemukan kejujuran.”

"Rasa suka menggelapkan objektiftas, karena terlalu menyukai matanya, aku jadi tidak pernah melihat apapun dari sana, aku hanya menatap bentuknya, seharfiah itu matanya bagiku." Kembali ku tutup wajahku dengan buku merah itu. Ku tundukkan kepala.


===

Hari semakin menua. Saatnya menyudahi percakapan kali ini. Kami berdiri dan kembali berjalan bersisian, menuju pintu keluar.


"Kau tak perlu menutupi perasaanmu. Ungkapkan saja jika kau masih menyayanginya. Namun, jika hubungan ini lebih baik diakhiri, ya akhiri saja. Diri dan hidupmu berharga, begitu juga dia. Pujaanmu mungkin takut menyakitimu, hingga tak mampu menyampaikan kata-kata dalam pikirannya.”

Mendengar perkataannya membuat langkahku terhenti. Ia pun demikian. Tubuh kami sedikit berputar, kami berhadapan.


"Tidak perlu dipaksakan hal-hal yang melelahkan. Tunggu saja, nanti akan ada seseorang yang matanya tak jemu dipandang serta balik memandangmu.” Ia katakan sambil melihat bola mataku, membuatnya tak bisa bergerak ke kanan dan ke kiri.


"Aku ke toilet dulu." Kalimat dan tubuhku terburu. Aku masuk lagi ke dalam bagian kedai kopi.


Ia hanya tersenyum ditempatnya berdiri.


===

Di depan cermin besar yang memenuhi dinding, aku melepas rintik air mata. Ia selalu begitu, berbicara pada mataku. Ia selalu begitu, menembus dinding-dinding pertahananku. Ia selalu begitu, opia*.


===

Setelah keluar dari toilet, ku edarkan pandangan. Tak kutemukan lagi ia.

===

*Gali: perampok, pencuri.

*Opia: kondisi ketika menatap mata seseorang dan mengetahui apa yang ia rasakan, apakah itu kegetiran, sedih, takut, ataupun marah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 7: Mengobrol

Pekan 8: Game Online, Game Offline

Pekan 5: Menikmati Moment