Titik Buta

“Saat itu aku sungguh tertekan, rasa sayang dan marah keluar dari lubang yang sama, berdesak-desakan. Kulampiaskan melalui tangisan, tanpa suara dan air mata. Kau tahu, dadaku sungguh sakit kala itu, berhari-hari, berbulan-bulan. Sakit di dada ternyata bukan hanya karena menahan tangis, melainkan ada segumpal penyakit yang bercokol di sana.” Aku tersendat, menarik napas dalam. Sambil kupejamkan mata, kusebutkan sebuah nama penyakit yang kini bisa kuucapkan dengan tenang. “Tumor payudara.”

Ia hanya diam, khidmat mendengar tuturku.

Ku hembuskan napas, ku buka mata, menerawang jauh, membiarkan semua masa lalu itu keluar masuk berseliweran di dalam ingatanku.

“Kau sudah melaluinya sekarang, kau sudah jauh lebih baik.” Ia membuka suara.

Tanpa menoleh padanya ku balas ia dengan senyum. Kepalaku masih mendongak ke atas, langit yang sedang ku tatap sangat indah.

“Syukur aku mengetahui dengan cepat, tumor payudara itu masih tahap awal. Jika sedikit lebih lama mungkin akan ditemukan juga kerusakan pada organ tubuh lainnya.”
Ku lanjutkan kata-kataku.

“Aku tidak mengetahui bahwa kondisi hati yang memendam kesedihan serta pikiran yang penuh dan kotor mampu merusak bagian-bagian tubuh. Diketahui juga saat itu aliran darahku terganggu, mungkin warnanya pun tak lagi merah.”

“Tapi biru.” Ia lanjutkan ocehanku. Kami tertawa bersama.

Sejenak kemudian. “Disaat itulah aku bertemu Enjoy. Kau ingatkan?” Ku katakan dengan cepat dan menoleh sekilas padanya.Kakiku yang menggantung ku goyang-goyangkan ke depan ke belakang. Aku bertingkah gugup.

“Iya, kau sudah menceritakannya kepadaku, berkali-kali. Sebagai senior, Enjoy banyak membantumu diawal kau masuk kerja. Enjoy juga membantumu mengenali daerah tempat tinggalmu yang baru.”

“Enjoy hanya melihatku seperti anak kucing tersesat yang sedang membutuhkan bantuan. Enjoy melakukan semua pertolongannya sebagai prosedur standar sebagai makhluk sosial. Enjoy tidak melihatku lebih dari itu.”

“Tapi kau tetap menyukainya, berharap hal-hal yang berlebihan. Membangun istana megah yang dihuni sendirian.” Ucapnya lugas.

Malam ini aku tak sengaja bertemu dengannya di taman dekat tempat tinggalku. Begitu muka bertemu muka kami saling terkejut, untuk selanjutnya tersenyum bersama. Tanpa suara mengomando kami berjalan bersisian menuju tempat duduk taman yang tak jauh dari titik pertemuan kami. Karena pertemuan ini tanpa sengaja, aku dan ia pun tidak memiliki topik khusus untuk dibicarakan. Aku langsung memulai pembicaraan dari apa yang terlintas dibenakku. Dan seperti biasa, ia selalu bisa masuk ke dalam topik apapun yang aku mulai untuk dibicarakan. Seperti yang barusan terjadi, aku teringat masa-masa sulit yang pernah aku lalui. Ketika konflik dengan orang tua memenjarakanku dalam kesedihan dan kemarahan yang berwujud pada penyakit di tubuhku.

Taman ini cukup baik menjadi tempat pelarian ketika kesulitan tidur menyapa. Pencahayaan di taman ini baik sekali. Lampu berwarna putih, kuning, dan lampu kelap-kelip yang digantungkan di pohon-pohon besar membuat suasana menjadi ramai meski tanpa suara kegaduhan. Sehingga meskipun malam pekat taman ini tetap terang-benderang. Selain itu taman juga dikelilingi pedagang makanan dengan gerobak yang berwarna-warni dan menjadi sangat meriah karena pantulan cahaya lampu. Aroma makanan dan minuman pun menyatu di langit, menghangatkan udara malam yang lembab dan dingin.

===

Pengunjung taman seperti memiliki jadwal masing-masing yang meskipun tidak tertulis tetapi dijalankan bersama. Sekitar pukul 6 sore hingga pukul  8 malam taman biasanya diisi oleh kumpulan keluarga, bapak ibu dan anak-anak kecil mereka. Mulai dari menyuapi bayi-bayi kelaparan, belajar mengendarai sepeda, atau bergiliran main ayunan dan jungkat-jungkit, atau sekedar duduk-duduk di bangku taman. Beranjak malam giliran bujang gadis yang menggunakan taman ini untuk bersendagurau, melontarkan rayuan dan kata-kata gombal. Tak ada satupun dari mereka yang membahas pelajaran yang belum dipahami saat di sekolah pada siang harinya. Mereka tau betul cara menghabiskan masa muda. Makin kelam sekitar pukul 10 taman mulai sepi, hanya beberapa orang yang tidak memiliki waktu pada pagi hari untuk berolah raga berlari mengelilingi taman. Hari berputar, pagi datang giliran kaum tua yang berolah raga ringan guna menyelamatkan lutut yang keropos.

Malam ini, seperti yang lainnya aku juga ingin menikmati kenyamanan yang ditawarkan oleh taman, menghirup udara segar dan menatap bebas bintang gemintang. Kebetulan sekali ia datang ke taman juga, maka kami bisa duduk bersama untuk saling menemani. 

“Mengapa tiba-tiba terkenang Enjoy?” Tanyanya.

Sebelum menjawab pertanyaannya, aku berlalu sebentar untuk membeli angsle, pedagang minuman paling dekat dari area tempat kami duduk.

Pedagang makanan dan minuman tidak pernah meninggalkan taman ini. Meski tanpa aturan atau kesepakakatan tertentu mereka jualan bergiliran selama 24 jam. Pagi diisi oleh pedagang sarapan seperti tukang bubur, nasi uduk, dan susu kedelai. Siang diisi oleh ketoprak, nasi rames, dan berbagai minuman dingin berperisa. Lalu malam tersedia sate, soto, sup dan aneka minuman hangat. Pedagang minuman hangat biasanya bertahan hingga fajar, yang membeli bisa siapa saja, selain warga sekitar yang keluar untuk menikmati malam, bisa juga anak-anak muda yang kebetulan lewat. 

Aku datang membawa dua mangkuk angsle. Angsle panas melengkapi malam yang dingin.

“Sebenarnya aku baru saja bertemu Enjoy di rumah sakit.” Ku jawab pertanyaannya. Sesungguhnya hal ini ingin ku pendam saja. Tapi bersamanya selalu saja ingin bercerita.

“Enjoy sakit?” Balasnya atas kata-kataku.

“Kamu mengapa tiba-tiba ke taman ini?”

“Hanya lewat. Jadi apakah Enjoy sakit? Dijawabnya pendek saja.

“Tidak tahu, aku lihat ia membawa tas dari rumah sakit yang biasa dipakai untuk membawa map hasil pemeriksaan. Kami hanya saling senyum, dari bahasa tubuhnya terlihat sedang buru-buru.”

“Kau terusik karena pertemuan dengan Enjoy?”

“Konflik dengan orang tua membuat ku kering dan energiku terkuras. Kehadiran Enjoy seperti oase yang membawa kesegaran. Bahkan ketika ia sibuk dengan kegiatannya dan aku cuma melihat dari kejauhan sajapun sudah merasa senang, ada aliran energi lain yang merayapi tubuhku. Diam-diam aku menyukai Enjoy.”

“Tapi kau menjalin hubungan dengan Si Masa Lalu dan Pujaan, apakah ketika bersama mereka Enjoy tetap ada di hatimu?”

“Ketika bertemu dengan Enjoy aku sama sekali tidak berpikir mengenai pernikahan, aku hanya menikmati rasa suka padanya dalam sunyi. Tidak berpikir untuk ku ungkapkan. Tidak berpikir untuk ia ketahui." Aku menarik napas sembari membenahi posisi duduk agar lebih tegap. Kedua tangan ku genggam di atas pangkuan.

"Waktu berjalan maju, aku bertemu dengan Si Masa Lalu dan kami menjalin hubungan. Si Masa Lalu sangat membantu mengalihkan kesedihanku karena tak bisa lagi melihat Enjoy. Dia adalah penghibur yang baik. Lambat laun aku menginginkan pernikahan sebagai ujung dari hubungan kami namun, Si Masa Lalu malah pergi, memang dia seorang yang tak dapat kuharapkan."

Aku menyuap sesendok angsle sebelum melanjutkan cerita kembali.

"Waktu kembali bergulir, kekecewaan ditinggal Si Masa Lalu tak berlangsung lama. Pujaan hadir memasuki kehidupanku. Hubungan kami sangat baik dan begitu mengasikkan. Bersama meyakini bahwa pernikahan adalah ujung dari cerita yang sedang kami jalin. Namun harapan tinggal harapan, orang tuanya tidak merestui dan ia melepaskan aku. Aku patah.” Kutarik napas dalam-dalam.

“Lalu?”

“Kini ketika aku baru mulai berpikir untuk bangkit, ku temukan lagi oase yang dulu pernah membawa kesegaran.”

“Ku pikir kau telah selesai dengan Enjoy, tapi pertemuan yang mungkin tak sampai 10 detik itu mengusikmu hingga malam ini kau tak bisa tidur.”

“Sudah bertahun-tahun aku tak pernah bertemu Enjoy, ia pindah tempat kerja tak lama sebelum aku bertemu Si Masa Lalu. Tapi sepertinya, aku tidak pernah benar-benar selesai dengan Enjoy. Mungkin karena aku tidak pernah mengatakan perasaanku kepadanya dan aku penasaran bagaimana perasaannya.”

“Kau menamainya Enjoy karena kau betul-betul menikmati perasaanmu padanya meski ia tak pernah tau tentang perasaanmu. Terkenang saat kau sakit dulu, sendiri menjalani pengobatan, aku saja sedih membayangkannya, namun kau selalu tersenyum dan terlihat sumringah hanya karena sebelum pengobatan kau berpapasan dengannya. Terlebih sering kau mencarinya demi untuk melihat wajahnya sebelum datang ke tempat pengobatan.“

“Haha...begitu besar pengaruh Enjoy dalam kehidupanku. Padahal ia tak melakukan apapun terhadapku. Sungguh ajaib. Oia, kau tau mengapa aku kesal dan marah kepada orang tuaku?”

“Dasar aneh, berbicara dengan mengganti topik seenaknya. Untungnya di kepalaku sudah tertanam tombol switch.

Aku hanya tersenyum mendengarnya, sambil ku suap angsle yang mulai dingin ke dalam mulutku.

“Kau bilang karena mereka mengatur hidupmu ketika kau sudah bisa berpikir sendiri, sementara ketika kau belum bisa jernih berpikir dan membutuhkan mereka dalam perkembanganmu, mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Jika dirunut jauh ke belakang kau bilang karena yang mengasuhmu ketika bayi tidak hanya orang tuamu, mereka meninggalkanmu demi pekerjaannya.” Lanjutnya.

“Selamanya orang tua akan melihat anaknya seperti bayi yang tak berdaya. Aku ditengah-tengah perasaan ingin membahagiakan mereka, namun tak bisa mengikuti apa yang mereka minta.” Ujarku.

“Dan waktu berpihak kepadamu, kau diberi kesempatan keluar rumah, menjalani perkerjaan yang kau sukai, hidup semaumu, dan bertemu seseorang yang mencuri perhatianmu. 
Waaahhh...seperti kesuksesan besar.”

“Rasa bahagia yang timbul dari menyukai Enjoy membuat aku berani untuk menghadapi orang tuaku dan mulai mengurai kesalahpahaman yang sudah membuat kami saling terluka. Hasil pencarianku mengenai hal-hal yang disukai Enjoy membuat aku menirunya menanam segala macam tanaman obat. Sedikit banyak sembuhnya tumorku terbantu melalui tanaman obat yang aku konsumsi dari hasil tanamku sendiri. Dan selagi menyukai Enjoy aku tak pernah menganggap diriku sakit, Enjoy seperti obat bius yang menutupi segala rasa sakit.”

“Wajahmu memerah.” Ia katakan sambil menatapku.

“Ah...ini pasti karena angsle yang hangat.” Aku merasa darah berdesir di sekitar kepalaku. Aku menyangkalnya dengan menyuapkan angsle bersendok-sendok ke mulutku.
“Kau sudah sehat, kau sudah mengakhiri hubungan yang tak berujung pernikahan, kau sudah mencapai posisi yang diinginkan ditempat kerjamu. Kini mengapa harus merepotkan diri dengan cinta sepihak yang hanya bertemu selintas? Mencemaskan jika ia sakit? Untuk apa?”

“Entahlah...aku tidak perlu kebingungan jika sudah mengetahui semua jawaban akhirnya. Kau pernah dengar pepatah Cina, katanya jari kelingking kita terikat benang merah dengan jari kelingking seseorang. Cepat atau lambat mengetahui siapa yang berada diujungnya tergantung seberapa kusut benang yang menghubungkan itu.”

“Kau akan bertemu jodohmu dan menikah. Cukup pikirkan itu saja.”

“Tapi bagaimana dengan Enjoy?”

“Memangnya Enjoy ingin kau apakan? Bertemu lagi saja belum tentu.”

===

“Kau lebih suka angsle, wedang ronde, atau sekoteng?” Ku mulai lagi percakapan yang sejenak terhenti.

“Angsle.”

“Karena?”

“Angsle lebih gurih dari pada sekoteng karena ada santannya dan angsle tidak punya bulat-bulat ronde, aku kurang suka memakan bulat-bulat kenyal itu.”

“Hmmm...mau aku belikan lagi angslenya?”

“Tidak, ini cukup.”

“Aku berharap bisa bertemu Enjoy lagi.” Kakiku yang menggantung makin aku goyang-
goyangkan.

“Harusnya masa-masa ini kau gunakan untuk lebih menyayangi dirimu sendiri, mengenal dirimu, menikmati hari-harimu. Jangan sibuk menerka-nerka dan memberi harapan hampa pada diri sendiri.”

“Aku akan ke rumah sakit lagi, aku akan mencari tau tentang Enjoy.”

“Pilihanmu.”

“Aku sungguh penasaran. Lebih baik sekarang, agar aku bisa menikah dengan tenang bersama siapapun nantinya.”

“Kembali kau kehilangan akal. Kau terobsesi dengannya.”

“Aku akan menemukan Enjoy. Sudah lama aku hanya berada di wilayah titik butanya. Kali ini aku akan bergerak dan menunjukkan diri.”

“Semoga kau menemukan jawaban dari segala hal tentangnya.” Suaranya pelan.
Aku menangkupkan kedua tangan ke wajahku. Kakiku berhenti bergoyang, sesungguhnya akupun gamang.

“Tapi aku...” Ku lepaskan tangan dari wajahku, ku toleh, tak ada lagi ia disisiku.
Hanya ada semangkuk angsle dingin yang masih utuh.


===

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 7: Mengobrol

Pekan 8: Game Online, Game Offline

Pekan 5: Menikmati Moment