Mencoba Meminimalkan Sampah
Hampir semua barang yang kita gunakan akan berakhir menjadi
sampah, sedang makanan pun akhir ceritanya adalah sampah meski tersimpan di
dalam tubuh. Sampah yang kita hasilkan ini ada yang bisa di daur ulang dan ada
yang sulit bahkan mungkin tidak bisa didaur ulang, maka kita perlu
memperhatikan jenis sampah apa yang sering kita produksi atau kita buang.
Saya pernah kesulitan tidur karena tiba-tiba muncul pikiran,
apa ujung cerita dari semua sampah yang selama ini saya buang, terutama ketika
menjadi anak kos dimana setiap membeli makanan di warung dibungkus plastik lalu
setiap plastik yang sudah kotor itu langsung dibuang, 2-3 kali makan dalam
sehari selama lebih dari 5 tahun. Saya sungguh ngeri, sampai termimpi-mimpi
sampah itu menuntut penyelesaian dari saya. Memang saya pernah membeli makan
dan dimasukkan ke kotak makan sendiri, saat itu pikiran tidak panjang sehingga
tidak menjadikan perbuatan itu sebagai kebiasaan. Di masa itu, kepedulian akan
sampah hanya sebatas tidak membuangnya sembarangan, tidak terpikir bahwa
terus-menerus memproduksi sampah adalah sumber masalah. Huft.
Pikiran mulai terbuka ketika saya di Jakarta, ada gerakan
untuk membawa kantong belanja sendiri saat belanja di supermarket atau minimarket.
Saya rasa senang sekali dengan gerakan itu karena dijuallah kantong belanja dengan
motif lucu-lucu. Lho! Salah fokus Lur! Sejak itu, sudah menjadi kebiasaan membawa
kantong belanja sendiri ketika berbelanja termasuk saat saya mudik ke kampung, sayangnya
di kampung kebiasaan saya itu asing, hampir seluruh toko yang saya datangi
tidak mengijinkan saya memasukkan barang belanjaan ke kantong sendiri, sedikit
mereka paksa agar saya berdamai dan memakai kantong plastik dari toko mereka,
mungkin karena prosedur atau ketidaktahuan mereka akan bahaya sampah plastik.
Tahun berganti, saya pulang kampung dan menetap, tidak lagi
dalam posisi merantau. Kebiasaan meminimalkan sampah terus saya upayakan. Hingga
sampailah disuatu hari beberapa bulan lalu saya melihat spanduk kain teronggok
disalah satu rak penyimpanan barang-barang di rumah orang tua saya. Dengan
rahmat Allah SWT dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur muncullah ide untuk
membuat spanduk ini menjadi kantong belanja, 1 lembar spanduk Luwak White Kopi
itu menjadi 3 item kantong belanja. Saya rasa senang sekali karena punya
kantong belanja motif luwak. Lho! Waktu membuatnya, dalam hati saya bergumam,
siapa tau nanti ini akan menjadi trend di kampung saya (membawa kantong belanja
sendiri dan lihatlah kantong belanja bisa Anda buat sendiri dari spanduk bekas,
ciee. Terus dapat spanduk bekasnya darimana?).
Tak lama terbit peraturan daerah di tempat saya tinggal ini
untuk membawa kantong belanja sendiri jika belanja di toko terutama supermarket
dan minimarket bermerek. Saya sumringah karena perbuatan saya seperti gayung
bersambut, kantong belanja motif luwak saya akan show off ketika di kasir. Peraturan itu hangat serta menuai pro
kontra, meskipun pembeli mengomel atau kesal karena tidak dikasih kresek, pihak
toko tetap mematuhi peraturan dan menawarkan barang belanjaan dikemas dalam kardus
bekas bagi pembeli yang tidak membawa kantong sendiri. Tapi apa mau dikata, seperti pepatah, anget-anget e** ayam, semua pihak melempam, pihak toko akhirnya kembali membungkus
barang belanjaan dengan plastik dan pembeli tidak pernah membawa kantong
belanja sendiri, tapi saya tetap membawa kantong belanja motif luwak yang sudah
saya buat dengan sepenuh hati.
Muncul dibenak saya, apakah pemerintah daerah ini tidak terpikir, bahwa ketika
menetapkan aturan baru terutama yang di luar kebiasaan harus diikuti dengan
sosialisasi dan edukasi. Yang saya ketahui adalah adanya tempelan di komputer kasir mengenai tidak diberikannya lagi kantong plastik, itupun tidak sampai sebesar buku tulis tempelannya, mungkin juga ada sosialisasi di TV lokal, tapi menurut saya harus lebih dari itu. Bila perlu kirim antek-anteknya yang berseragam dinas untuk turun ke desa-desa (di lingkungan saya tinggal tidak ada, tidak tau di daerah lain), beritahu tentang bahaya sampah plastik dan
berikan kantong belanja gratis pada seluruh masyarakat lalu minta mereka
membawanya tiap kali belanja. Kemudian mungkin sebaiknya ada kontrol sejauh apa peraturan ini berjalan atau malah stop atau ada masalah lain yang perlu dicarikan solusi atau atau yang lainnya. Tapi ini tidak, aaarrrgghhh sudahlah, sakit
kepala jika saya lanjut bahas.
Baiklah, balik lagi ketujuan awal saya menulis ini. Saya ingin
menceritakan barang-barang apa yang saya reduksi penggunaannya. Seiring dengan
gaya hidup saya yang mencoba minimalis, berkurang jugalah produksi sampah
pribadi saya. Sesungguhnya ini seperti hubungan yang timbal balik, saya mencoba
minimalis saya mengurangi sampah, saya mengurangi sampah saya menjadi minimalis.
Yang pertama, yang sudah sekitar 5 tahun tidak saya produksi
lagi sampahnya adalah cotton bud atau
korek kuping kapas, karena saya dikasih oleh-oleh korek kuping berbahan besi
dari teman saya Ria Chan sewaktu beliau kunjungan kerja ke Korea. Sebab itu barang dari Korea, sambil pakai
terkenang-kenang mas Lee Min Ho..hihi.
Yang kedua, botol minum plastik sekali pakai, entah dari
kapan yang jelas saya sudah terbiasa membawa botol minum sendiri kemana-mana
sejak lama. Tapi karena dulu belum terlalu sadar, sesekali masih membeli
minuman botol dan tanpa beban pluuuungg membuang botolnya ke tong sampah. Namun,
seiring dengan pola hidup sehat yang saya terapkan pada diri saya, meminum minuman
dalam kaleng atau dalam botol jarang sekali saya lakukan, jus pun saya usahakan
buat sendiri.
Yang ketiga, jajanan kemasan plastik. Sama dengan cerita
minuman di atas, senada seirama dengan pola hidup mengurangi makanan olahan
pabrik, berkurang jualah produksi sampah-sampah dari makanan-makanan ini. Saya
juga tidak membeli makanan ayam-ayam goreng itu, karena kalau beli disitu baik
makan di tempat atau dibawa pulang, tetap saja banyak sampahnya. Tapiiiiiiii,
produksi dari sampah plastik hasil membeli makanan seperti bakso dan tekwan
masih saya upayakan dikurangi, bisa dengan cara makan di tempat, membeli dengan
membawa kotak makan, atau jika tidak kepingin banget tidak usah beli.
Yang keempat, pembalut atau pantyliner sekali pakai. Dalam
tahun ini saya sudah memakai menstrual
pad, yang bisa dicuci dan dipakai kembali. Sama dengan penggunaan kapas
untuk membersihkan wajah, saya menggantinya dengan handuk tipis yang saya
potong seukuran kapas, lalu dijahit pinggirya supaya tidak murudul, setelah
dipakai saya cuci, keringkan dan dipakai kembali.
Yang kelima, sedotan plastik tentunya. Saya tidak terbiasa
memakai sedotan sejak lama, jika bisa mengambil sendiri maka tidak saya ambil
sedotannya, jika makan di restoran dan sudah dimasukkan sedotan ke dalam
minumannya, maka dengan berat hati saya gunakan, tidak saya gunakan pun pasti
akan langsung dibuang oleh pihak restoran ketika membersihkan gelas bekas saya
(mestinya ngomong duluan ya pas pesen makanan, g usah dikasih sedotan, tapi
suka lupa, apalagi kalau sudah kelaparan).
Kurang lebih seperti itulah, saya mencoba hal terbaik yang
bisa saya lakukan untuk mengurangi produksi sampah. Namun ada beberapa barang yang tidak bisa saya kurangi
penggunaannya dan tetap menghasilkan sampah seperti sabun mandi dan detergen.
Akan tetapi sampah plastik yang membungkus sabun-sabunan itu agak tebal,
sehingga saya coba pakai kembali sebagai polibek. Sampah dari produk-produk
perawatan tubuh, bahkan sebagian besar adalah botol-botol tebal sekali pakai yang pastinya
tidak mudah hancur selama bertahun-tahun. Ada juga sampah benang dan kain sisa
menjahit yang saya produksi. Saya pikir selain plastik, sampah-sampah berbahan
dasar kain itu juga pasti sulit diurai tanah, terutama jika sudah basah dan
terkena kotoran. Terlebih ditempat saya tinggal dan mungkin di negara kita,
membuang sampah tidak dipilah dan lokasi penampungan sampah juga tidak
terbagi-bagi. Bak penampungan sampah hanya 1 kotak besar dan disana
berkumpullah semua jenis sampah dengan status basah dan kering, belum lagi yang
terkena minyak dan bekas makanan, belum lagi yang terkena kotoran dari bekas pembalut dan
diapers, belum lagi oh Tuhan, tak terbayangkan.
Oh, hampir ketinggalan, sampah dari packaging belanja online. Sampah biasanya terdiri dari lem, kardus, plastik pembungkus, bubble wrap, serta kertas nota pembelian dan resi pengiriman. Semakin sering belanja online, semakin sering sampah ini saya produksi. Heu.
Ya begitulah, masih banyak yang belum saya kerjakan, masih
banyak yang belum saya upayakan, masih terus membangun kesadaran dalam diri,
masih perlu rela berkorban (dan bersedia repot membawa tempat sendiri selama
beli ini itu), masih harus terus melakukan perubahan walaupun kecil dan
sedikit.
Komentar
Posting Komentar