Kenapa belum nikah?

Saat ini saya sedang menjalani fase kehidupan dimana orang-orang di sekitar akan bertanya kapan nikah? Ko belum nikah? Udah punya calon? Reaksi saya terhadap pertanyaan ini biasa aja, udah terlatih dari sejak ditanyain kapan lulus kuliah? Kapan kerja? Kerja dimana? Selanjutnya nguuuunggg ngguuunggg terdengar suara kepakan sayap nyamuk di pinggir telinga. Boodooo aamaaaat.

Bahasan yang klise memang, bahkan di dunia maya yang menyelubungi kita ini bahasan soal nikah sangat-sangat populer, viral, jadi pusat perhatian. Orang-orang yang belum menikah seperti sangat harus kudu diselamatkan secepat mungkin, secepat kilatan petir di desa Petir, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Entah diselamatkan dari apa.
Untuk itu semua, tak perlulah saya bertanya kenapa dunia menjadi seperti ini, memang sudah wayanya. Beruntunglah karena masih ada orang yang kepo terhadap urusan saya, masih ada yang ingin tau, bisa jadi emang nge-fans.

Perlu diketahui, bahwa rasa penasaran orang di luar diri saya, orang tua sekalipun, tidak dapat mengalahkan rasa penasaran saya sendiri mengenai siapa jodoh saya dan mengapa saya belum menikah. Tidak ada.

Setiap kita punya jalan hidup yang berbeda. Tumbuh dan berproses dengan khas masing-masing, jadi sudah wajar ada perbedaan, tidak semua mahasiswa lulus di usia 20 tahun misalnya, tidak semua anak gadis menikah di usia 22 tahun, punya anak 1 tahun berikutnya misalnya, tidak semua jajaka juga harus punya rumah di usia 25 tahun misalnya. Banyak misalnya-misalnya yang lain yang menunjukkan setiap kita ini tidak sama. Jangan hanya karena semua teman sekolah sudah menikah, saya juga sudah harus menikah, mana bisa begitu. Emang nikah bisa sendirian?

Disatu hari yang telah berlalu, Allah kasih saya keyakinan melalui bibir baik seorang yang peduli terhadap saya, sambil tersenyum ia katakan “semoga kau mendapatkan orang yang kau cita-citakan”. Aamiin.

Kekurangan diri saya membawa saya menjalani proses kehidupan yang mungkin lebih panjang dari orang lain. Proses pembelajaran yang lebih banyak dari orang lain. Jika ada seseorang yang satu kali diajarkan melalui sebuah peristiwa langsung paham, maka saya butuh waktu dua kali bahkan lebih yang terkadang itu juga masih belum paham-paham. Ketidakpiawaian saya dalam menghadapi satu masalah membuat saya menghadapi masalah yang sama berulang kali. Pertanyaan saya akan suatu hal membutuhkan waktu untuk saya temukan jawabannya. Kehausan saya terhadap suatu hal perlu saya cari pemuasnya.

Namun selama ini saya menikmati proses kehidupan saya, saya tidak bosan terhadap diri saya, saya mencintai diri saya, dan saya selalu menunggu diri saya yang lebih baik versinya. Saya terus berupaya merapikan alam bawah sadar saya, menyortir memori dan menyembuhkan luka. Memeluk rasa ketidaknyamanan, merayakan kebahagiaan, dan menemukan banyak hal baru. Saya menikmati perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup saya baik secara spiritual, emosional, bahkan secara finansial. Merevisi cara berpikir saya yang sebelumnya jika menurut saya yang sekarang itu kurang tepat. Saya berbenah sesuai dengan kecepatan proses bertumbuhnya saya, saya coba belajar lagi belajar lagi belajar lagi tentang apapun, dengan siapapun, dengan alam ini, dengan peristiwa yang terjadi.

Menurut saya, ada proses kehidupan yang perlu kita lalui sendiri, ada juga proses kehidupan yang mungkin kita lalui saat telah memiliki pasangan. Namun setidaknya proses tumbuh kita yang harus kita lalui sendiri sudah kita selesaikan dengan baik. Agar kita menjadi seseorang yang utuh, “jika saya tidak selesai dengan diri saya, saya sibuk dengan kepelikan saya sendiri, bagaimana saya bisa membersamai seseorang?”.

Menikah adalah wadah dimana kita harus bisa mencapai diri kita yang lebih baik. Jika sendiri saja kita sudah bisa mencapai suatu prestasi tertentu, maka berdua harus lebih baik lagi pencapaiannya. Jika sendiri saja sudah damai, maka berdua harus lebih tenang dan seimbang. Jika sendiri saja sudah bisa survive, maka berdua hidup harus lebih menarik lagi.

Sebagai insan sosial, menikah juga merupakan sarana bersosialisasi. Dengan menikah kita punya Kartu Keluarga sendiri, sudah dihitung keluarga baru dicatatan pak RT. Kalau ada yang mau kasih undangan nikahan atau sunatan, undangannya sudah terpisah dengan undangan orang tua, sudah ada nama sendiri atau nama suami dikepadanya. Asik bukan?

Menikah pasti baik. Tapi menikah dengan orang baik yang sudah kita pikirkan dengan baik-baik, insyaAllah akan lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 7: Mengobrol

Pekan 8: Game Online, Game Offline

Pekan 5: Menikmati Moment