Jenggama

"Persetubuhan denganmu bukanlah impianku, aku tidak akan pernah menuntut pernikahan padamu, harusnya kau tak mati secepat ini." Kataku lirih.
"Sebenarnya tiada guna aku menggerutu di tepi pusaramu, tapi sungguh kau membuatku kesal." 

***

Sore itu aku dan teman-temanku menangis bersama, kami berduka atas rusaknya mainan yang kami miliki. Mainan-mainan itu adalah lungsuran dari anak-anak para donatur yang tidak lagi menginginkan keberadaan mainan tersebut di rumah mereka. Ada yang kondisinya masih prima, ada yang kondisinya sekarat. Namun, kami senang sekali bisa memainkannya. Hanya itulah yang kami miliki.

Sesaat sebelumnya, kami bermain gabungan dengan anak-anak tetangga di sekitar panti. Kami memainkan mainan lungsuran itu bersama. Entah bagaimana cerita berawal, permainan menjadi panas hingga perkelahian tak dapat dihindari, kami yang berjumlah 7 orang (5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki) menang atas anak-anak tetangga yang berjumlah 10 orang (6 anak laki-laki dan 4 anak perempuan). Merasa kesal karena kalah, mereka menghamburkan dan menghancurkan seluruh mainan yang kami miliki. Urusan usai, anak-anak tetangga pulang ke rumah masing-masing dan tinggallah kami di halaman panti dengan wajah basah keringat dan air mata.

Hati kami hancur seiring dengan hancurnya mainan-mainan bekas itu. Saat aku sedang mengusap-usap mataku, aku tersadar bahwa ada anak laki-laki seusia kami yang berdiri di balik pagar seraya memandang ke arah kami. Mataku yang basah makin ku usap untuk bisa melihat lebih jelas. Tak lama anak lelaki itu berjalan ke arah kami.
"Aku punya banyak mainan, jika kalian mau akan kuambilkan dari rumah." Katanya tenang.

"Mau." Seru temanku Johan secepat kilat dengan mata berbinar.

"Kalau begitu tunggu sebentar, akan kuambilkan." Anak lelaki itu bergegas dan berlari menjauhi pagar. 

Hanya Johan yang air mukanya berubah menjadi ceria, sedang kami masih bengong dan melongo, bertanya-tanya tentang kejadian yang baru saja terjadi. Johan menyadarkan kami dan mengajak untuk membersihkan puing-puing mainan yang telah hancur. Setelah semuanya beres kami mencuci tangan dan wajah, lalu duduk bersisian.

Tak lama anak lelaki yang tadi, datang membawa 2 kardus besar. Ia dibantu oleh seorang tukang becak untuk membawa kardus itu sampai di depan rumah kami.

Perkenalan terjadi, nama anak lelaki yang membawa kardus tersebut adalah Saudi, ia hanya mempunyai 1 kakak perempuan yang berusia 5 tahun lebih tua darinya bernama Madeena. Mainan yang ia bawa ternyata harus dibarter dengan kesediaan kami menerimanya untuk bermain bersama, ternyata ia salah satu anggota dari kumpulan pria-pria kesepian. Ia dan kakak perempuannya tak pernah main bersama, kedua orangtua Saudi sedang sibuk merintis usaha, ia di rumah hanya dengan seorang asisten rumah tangga yang tidak nyambung tiap kali diajak main olehnya. Kami sepakat, menerima perjanjian dengan senyum lebar merekah.

***

Waktu bergulir hari berlalu tahun berganti, kami dan Saudi tetap menjadi teman main hingga remaja. Setelah lulus dari sekolah Saudi berkata bahwa ia akan pindah dari kampung, mengikuti jejak kakaknya Madeena untuk kuliah di kota tetangga. Sementara temanku Johan dan Apri segera mencari kerja untuk membantu perekonomian panti. Dua teman perempuanku bernama Susan dan Monika mengambil kursus jahit seperti yang mereka idamkan, sembari mengurus segala keperluan panti dan teman-teman kecil yang datang bergabung bersama kami. Satu teman perempuanku bernama Ariani keluar dari panti karena memutuskan menikah dengan lelaki yang ia kenal di pasar. Memang dari dulu tugas Ariani adalah ke pasar, aku dan Apri yang memasak, sedangkan Johan, Susan, dan Monika mencuci pakaian hinga bersih-bersih ruangan. Tidak seperti teman lain yang diijinkan memilih apa yang mereka ingin lakukan, aku diperintah untuk kuliah. Sementara pada saat yang sama, aku ingin sekali bekerja di salon. Aku suka menata rambut dan menghias wajah seseorang, mungkin ayahku seorang ahli cukur atau ibuku seorang make up artist. Orang tua yang hingga saat ini tidak kuketahui keberadaannya. Pada akhirnya aku memilih jalan tengah, aku akan kuliah sambil bekerja di salon, saat itu aku kuliah jurusan ekonomi.

Semakin tenggelam di dalam urusan masing-masing, semakin jarang kami duduk bersama dan mengobrol. Panti masih menjadi tempat ternyaman, kami masih tidur pada kamar yang sama, tapi kami sudah menjadi orang-orang yang berbeda. Aku sering terserang rindu pada teman-teman yang wajahnya tiap hari aku jumpai. Saudi tak luput menjadi orang yang sibuk pula hingga jarang pulang ke kampung untuk mengunjungi kami maupun orang tuanya.

Setelah beberapa tahun, suatu hari Saudi pulang kampung sangat mendadak, Madeena berpulang, meninggal dalam sebuah kecelakaan sepekan sebelum pernikahannya. Saudi yang bersedih mencari penghiburan dengan mengunjungi teman lama. Kami semua menyempatkan diri untuk berkumpul dan duduk di sisi sahabat kami Saudi. Kami bercerita tak tentu arah hingga malam telah larut.

Waktu merambat kembali, kami berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing. Saudi pulang ke kota untuk meneruskan kuliahnya. Kepergian Saudi menyadarkan aku tentang sesuatu, aku mungkin menyukai Saudi. Tetapi, aku pendam saja rasa yang belum pasti ini, bisa jadi aku hanya rindu pada teman lamaku.

Pertengahan tahun ajaran, kampusku mengadakan perjalanan yang kebetulan ke kota di mana Saudi kuliah. Aku amat girang hingga rasanya ingin meledak, jika bukan acara kampus alasan apakah yang bisa membawaku hingga ke kota itu. 

Di waktu yang sangat sempit, di sela-sela kegiatan kampus, aku menemui Saudi. Rasanya senang sekali, kami banyak tersenyum dan mengobrol tentang apa saja  Sepulangnya aku dari perjalanan singkat kampus, aku dan Saudi menjadi sering berkomunikasi melalui handphone. Kini kuyakini aku memang menyukai Saudi.

***

Di salon, cerita mengenai perselingkuhan, free sex, atau hal-hal lainnya sudah sering kudengar, tetapi aku tidak pernah merasa begitu dekat dengan cerita-cerita tersebut. Hingga suatu hari, entah ada maksud apa dan tanpa menghubungi, Saudi datang menghampiriku di salon dan mengajakku menginap di suatu penginapan. Aku heran atas sikap Saudi yang sangat berbeda dengan apa yang aku pikirkan tentang dia. Aku menolak tawaran Saudi, aku hanya mengajaknya makan bersama di rumah makan dekat tempatku bekerja. Bagiku, ia tetaplah temanku yang memberikan seluruh mainan dan menukarnya dengan sebuah persahabatan. Malam itu Saudi pulang ke kota dan aku ke panti. Sebwlum berpisah kukatakan pada Saudi, "Aku adalah temanmu dan selamanya akan begitu." 

Meskipun aku tidak tahu mengenai gaya hidup Saudi selama tinggal di kota tersebut, yang jelas hubunganku dan Saudi melalui handphone kian akrab. Ia sampaikan padaku cita-citanya untuk merenovasi rumah panti, ia akan merancang dan memilih sendiri pihak-pihak yang akan terlibat, serta ia pula yang mendanai seluruh biaya renovasi tersebut. 

***

Setelah lulus ia bekerja di sebuah firma di kota yang sama dengan kampusnya dan menjadi karyawan yang cukup disayang oleh bos karena kecerdasan dan ketangkasannya. Kian hari rekening tabungan Saudi kian bertambah gemuk. Penampilannyapun makin menarik. Semakin ia sukses semakin banyak perempuan yang ingin tidur dengannya, begitu pengakuan Saudi. Tapi aku tidak pernah menggubris jika topik ini ia angkat dalam pembicaraan kami.

Hari yang ia cita-citakan tiba, Saudi telah punya cukup uang untuk merenovasi rumah panti, ia memulai dengan penuh perencanaan. Saudi mondar-mandir dari kota ke kampung demi menjalankan tugas mulia itu.

Aku dan Saudi masih terus bercerita tentang banyak hal melalui handphone karena tiap ia datang ke panti aku tidak pernah bisa pulang untuk menemuinya. Kini aku sudah pindah ke kota lain untuk bekerja, memanfaatkan ijazahku yang kuperoleh dari sumbangan banyak orang. Biasanya aku sempatkan sebulan sekali untuk pulang, tapi kini hanya sebagian besar gajiku saja yang pulang ke panti.

Sesungguhnya pekerjaanku yang sekarang sangat melelahkan, namun aku juga tidak tahu apa yang ingin aku lakukan jika tidak melakukan pekerjaan ini. Aku tidak cukup baik dalam mengenal diriku, tapi selagi hidup bisa membantu orang lain, ya sudah. 

***

Suatu ketika aku secara mendadak pulang ke panti, entahlah yang jelas aku hanya ingin pulang saja. Panti yang dipenuhi kayu-kayu penyanggah terlihat begitu semrawut dengan pencahayaan yang tidak begitu terang. Panti sudah kosong, semua anak-anak telah dipindahkan ke rumah kontrakan sejak panti direnovasi oleh Saudi dan timnya. Namun, Johan dan Apri masih tinggal di gubuk di sebelah bangunan panti yang dibuatkan khusus untuk mereka.

Dalam cahaya yang remang-remang, aku melihat sepasang laki-laki dan perempuan berdiri berdekatan. Mungkin itu Apri dan pacarnya pikirku. Ketika aku mendekat sepasang insan tersebut telah berpisah dan pergi entah kemana. Aku tidak bisa memastikan siapa mereka. Kemudian aku berjalan memasuki pagar dan menuju gubuk kecil Johan dan Apri. Aku melihat Apri sedang bersenda gurau dengan seorang anak perempuan, jadi bisa kusimpulkan bahwa yang tadi kulihat bukanlah Apri.

Ternyata firasatku benar untuk pulang malam itu karena semua temanku sedang berkumpul. Untuk pertama kalinya Ariani mengunjungi panti, ia beserta suami dan putri tunggalnya membawakan banyak makanan. Saudipun juga sedang dalam jadwal mengunjungi panti. Susan dan Monika juga datang dan membawa makanan buatan ibu panti. Mereka sangat senang begitu aku datang, makan-makan baru saja akan dimulai. Konon, mereka ingin menghubungiku namun handphoneku tidak dapat dihubungi. Memang benda itu telah kehabisan baterai sejak aku memutuskan untuk pulang hari itu.

Karena gubuk terlalu kecil, kami akhirnya menyantap makanan di halaman depan gubuk Johan dan Apri. Kami mengobrol hingga larut malam. Anak Ariani telah tertidur pulas, tepat pukul 1 pagi, Arini beserta keluarganya pamit. Kamipun mulai beranjak untuk pulang. Aku sangat senang malam itu, pilihanku untuk pulang benar-benar tepat, terlebih entah perasaanku saja atau kenyataan, aku melihat Saudi yang selalu curi pandang kepadaku.

Aku, Susan, dan Monika pulang ke rumah kontrakan untuk beristirahat. Sementara Saudi pulang ke rumah orang tuanya. Kampung kami sudah tak sesepi dahulu, sekarang sudah banyak toko dan angkringan yang buka hingga subuh.

Begitu sampai di rumah kontarakan aku mulai berkomunikasi dengan Saudi melalui handphone, membicarakan beberapa hal hingga benar-benar mengantuk dan jatuh tertidur sekitar 1 jam setelahnya.

***

Lelah perjalanan dan larutnya waktu tidur membuat aku pulas hingga siang. Sekitar jam 11 aku terbangun karena suara gaduh, karena ingin tahu aku bangun dan keluar kamar. 
Seorang anak menghampiriku dan berkata "Kak Saudi terjatuh saat melihat bagian atap lantai 2, sekarang dibawa ke rumah sakit."
Aku yang belum sepenuhnya sadar, benar-benar terhenyak saat itu juga. Aku bergegas merapikan diri dan segera ke rumah sakit tempat Saudi dilarikan.

Di sana kudapati pemandangan yang begitu menegangkan, ada ibu panti, ada orang tua Saudi, ada Johan dan Apri yang mengenakan seragam kerja mereka, ada Ariani tanpa suami dan anaknya, ada Monika yang saat itu sedang memeluk Susan yang menangis histeris. Saudi tak dapat diselamatkan, luka di kepalanya cukup parah hingga ia kehilangan banyak darah.

***

Seiring dengan proses pemakaman aku mendengarkan cerita yang disampaikan Monika tentang Susan dan Saudi. Susan yang berada di samping Monika ikut menimpali meski lebih banyak tersedu ketimbang bercerita. 

Susan dan Saudi dekat ketika Saudi mulai sering mengunjungi panti, ternyata sedari kecil Susan sudah menyukai Saudi. Susan selalu di sana tiap Saudi datang untuk melihat-lihat kemajuan renovasi panti. Mereka kian dekat dan menjalin hubungan. Malam kemarin itu Saudi menjanjikan sebuah pernikahan kepada Susan yang baru saja ketahuan mengandung anak mereka. 

Mendengar, melihat, dan mengetahui semua cerita itu membuatku merasa merasa kosong, tapi di depan mereka aku berduka dan berempati. Begitu mudahnya keadaan berubah, begitu rapinya sebuah hubungan tersembunyi. Kini Saudi pergi, Saudi sudah mati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 7: Mengobrol

Pekan 8: Game Online, Game Offline

Pekan 5: Menikmati Moment